Rabu, 27 September 2023

Menjadi Pasien Poli Jiwa (Part 2)

September 27, 2023 0 Comments
    Penelitian bilang bahwa gangguan kesehatan mental itu dapat diturunkan dalam keluarga. Misalnya dari orang tua yang memiliki gangguan kesehatan mental ke anak mereka. Fakta tersebut bikin hati remuk rasanya, gak sanggup aku membayangkan anakku akan struggling juga dengan masalah kesehatan mental. Tapi aku buru-buru sadar dan berpikir jernih bahwa, pertama, itu belum tentu terjadi. Kedua, kondisiku dan kondisi anakku jauh berbeda, dan ketiga, aku bisa mencegahnya. 
 
   Mungkin sama seperti penyakit diabetes yang memang menurun secara genetik atau faktor resiko terkenanya lebih tinggi dibandingkan yang tidak punya keturunan diabetes. Namun, bukankan jika keturunannya menerapkan pola makan sehat dan menjalani gaya hidup yang  berbeda dengan keluarganya yang diabetes, kemungkinan besar dia tidak akan terkena diabetes juga, bukan. Apalagi kondisiku pun terbilang berbeda dengan kondisi anakku sekarang. 
    Sekarang, informasi tentang kesehatan mental banyak dan mudah didapatkan, baik di lewat buku, media sosial, seminar online maupun tatap muka. Pergi ke psikiater maupun psikolog juga sudah makin dianggap biasa, dan masalah kesehatan mental sudah dianggap makin setara pentingnya dengan kesehatan fisik. Meski begitu masih ada saja yang menganggap itu hanya masalah kurang iman, kurang bersyukur, lebay, dan tabu. Tapi sungguh tak terbayang jika aku hidup di zaman ibu bapak dulu, jangan-jangan gangguan kesehatan mental yang bayangkan dan diobati jika sudah seperti ODJG yang keluyuran di jalanan. Betapa minimnya informasi, bantuan profesional dan sulitnya stigma masyarakat tentang kesehatan mental. Mungkin orang tua juga zaman dulu juga mengalami kesulitan dan tantangannya sendiri dalam menjaga kesehatan mental mereka, hanya mungkin mereka gak menyadari itu, atau menyadari tapi membiarkan begitu saja berlalu. 
    Aku pun tumbuh dalam keluarga yang minim sekali mengucapkan selamat, terimakasih, maaf, maupun sayang. Dalam hal ini, ku usahakan berbeda dengan anakku. Sejak kecil, aku membajirinya dengan ungkapan sayang, setiap bangun pagi, sebelum ia tidur, dan memeluknya sesering mungkin selagi ia masih mau dipeluk. Setelah kelepasan meneriakinya, saat sudah jernih kembali, aku minta maaf ke dia, mengatakan bahwa mama salah, gak seharusnya mama teriak saat marah. Berterimakasih atas bantuan kecilnya dalam kegiatan sehari-hari, serta memberinya selamat atas pencapain-pencapaian kecil yang ia lakukan supaya ia bangga dan percaya pada dirinya sendiri. Memang masih banyak kurang sana sini dan tentu saja masih panjang perjalanan menjadi orang tua ini. Namun sebisa mungkin meninggalkan  hal buruk, memperbaiki yang kurang dan mengambil hal-hal baik yang sudah dilakukan orang tua dulu dan untuk diterapkan ke anak sekarang. 
    Satu lagi, karena kondisi ekonomi yang sulit, aku sempat kehilangan sosok ibu dan bapak saat masa SMA. Selama tiga tahun lamanya, mereka tak hadir secara fisik, emosional dan materi. Aku seperti anak yatim piatu selama itu. Aku terpaksa tinggal di rumah kakek nenek untuk bisa lanjut sekolah SMA, pindah nama jadi ikut di Kartu Keluarga Kakek supaya jadi warga Jawa Timur yang bayar SPP sekolahnya gratis, jajan dan biaya hidup lainnya sedikasihnya oleh Kakek dan Nenek. Gak bisa saling kirim SMS dan telepon  karena Ibu Bapak dan aku sama-sama gak punya handphone saat itu. Kesulitan adaptasi karena beda bahasa daerah, asing dengan kota baru, belum punya teman, kesulitan belajar, butuh uang tambahan, dan segala krisis remaja pubertas yang galau mencari jati diri, mau tidak mau di hadapi sendirian. Beruntung zaman sekarang teknologi sudah canggih, meski berjauhan secara fisik tapi masih bisa  terhubung dan tetap bisa hadir secara emosional lewat video call. 
Terakhir, aku masih bisa mencegahnya sedari sekarang. Seperti yang kini sedang di ikhtiarkan secara konsisten, yakni :
  1. Mengajak dia mengenali dan menamai emosi yang ia rasakan. Hal pertama yang aku beli saat dapat komisi dari hasil jualanku adalah paket buku mengenal emosi sebagai kado ulang tahun ke-2 nya anakku. Iya, aku gak mau dia sering bingung tentang emosinya sendiri bahkan gak bisa kenalin apa yang ia rasa seperti aku. Tiap dia nangis atau tantrum, setelah ditemani dibuat tenang, ku usahakan untuk bilang ataupun tanya apa ia sedang rasakan? Marah kah? Kesel? Sedih? dst. Lalu tanya kenapa biar dia bisa ceritain dan terakhir tanya dia butuh dibantu apa? Mau di peluk? dll. 
  2. Memvalidasi emosinya dan membiarkannya mengeluarkan emosinya. Seperti menangis, mempersilahkannya menangis gak buru-buru memarahinya untuk stop menangis, ia boleh kog nangis itu biar lega, gak perlu di tahan-tahan bikin numpuh emosi gak sehat. Terdenger sepele, tapi terapannya sunggug menantang, apalagi kalau menangisnya di depan umum atau menangis teriak-teriak lama. Sungguh menggoda hati dan mulut untuk ikut ngomelinnya. 
  3. Tidak memberikan label karakter jelek. Mengoreksi atau mengomelinya fokus ke perbuatan salah yang ia lakukan, tanpa melabelinya nakal, gak bisa di atur, dll.
Segini saja butuh ekstra sabar untuk konsisten ternyata, padahal tentu saja 3 ikhtiar diatas belum cukup untuk bekal menjaga kesehatan mentalnya.


    Dear anakku, kelak kalau kamu baca ini semoga kita masih sambil becanda bernostalgia tentang kelakuan menggemaskanmu waktu kecil. Semoga mama panjang umur dan sehat lahir batin selalu tanpa kurang satu apapun supaya bisa menemani melewati golden age mu, mendampingimu adaptasi awal masuk sekolah, mendampingi masa pubertasmu, masa galau mencari jati dirimu, masa merintis karirmu, memutuskan menikah, menemanimu pasca melahirkan, dan benar-benar menjadi support systemmu secara fisik, secara materi maupun emosional. Menjadi rumah yang aman dan nyaman penuh cinta tanpa syarat untukmu. 
    Maafkan mama karena genetik mama yang merugikan kamu ini. Maaf jika kamu malu punya mama yang punya gangguan kesehatan mental. Mama sendiri pun belum berani cerita ke orang lain tentang ini selain papamu. Malu, takut di stigma, gak siap dengan aneka respon orang lain saat tahu mama ke psikiater psikolog karena kena gangguan kesehatan mental. Tapi nak, jauh dalam diri mama, mama bangga ke diri sendiri karena berobat, minta bantuan profesional, disiplin minum obat dan melakukan aneka usaha self healing. Sungguh keputusan yang mama menyesal kenapa tidak mama lakukan lebih awal. Semua usaha ini motivasi terbesarnya itu untuk kamu, supaya mama tidak lebih banyak meninggalkan luka pengasuhan dalam dirimu yang berharga, supaya kamu tumbuh sehat fisik maupun mental. Kelak mama akan mengajakmu menulis jurnal, yoga bareng, belajar mindfulness, meditasi, ikut pelatihan aneka teknik self healing TAT, hypnoteraphy, access bar, human design, dan banyak lagi yang lainnya yang mama kira bisa membantu merawat kesehatan mental. Semoga mama bisa segera selesai dengan diri mama sendiri, menerima dan mencintai diri sendiri tanpa membiarkan diri mama apa adanya, bisa menjadi contoh baik sebagai manusia dan sosok ibu bagimu dan membersamai tumbuh kembangmu dengan penuh cinta. Salam sayang dari mama yang akan segera sembuh dan pulih. 

Selasa, 19 September 2023

Review Buku : Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson

September 19, 2023 0 Comments

    Saat ibuku yang jauh-jauh datang dari Jawa Barat ke rumahku di Jawa Timur, aku masak sayur bayam dan ayam ungkep goreng sebagai jamuan selamat datangnya. Belakangan kusesali karena betapa konyolnya menu itu. Ia datang dari desa, yang kenyang dengan sayuran semacam bayam, dan ayolah ayam goreng apa spesialnya. Pantas saja responnya saat itu jauh dari harapanku. Harusnya aku memasakannya masakan Jawa Timur-an yang ia kangeni seperti soto, rawon, atau membelikannya rujak cingur, atau nasi jagung. Yap, aku sering mengutuki diri sendiri, betapa bodohnya aku, bahkan untuk sebuah kejadian kecil seperti ini. Merenungkannya lama, rasanya saat itu aku melakukan yang terbaik sebisaku, menurutku benar saat itu. Seperti menu jamuan Ibuku tadi, aku memasak sayur bayam dan ayam ungkep goreng karena saat itu masakan terbaikku itu, skill memasakku menu andalan yang selalu enak dan habis ya itu. Aku hanya berpikir memberikannya jamuan dari masakan terbaikku, tanpa mempertimbangkan pilihan memikirkan menu yang ia kangeni, menu yang bosan ia makan atau membeli makanan jadi saja. 
    Sungguh pertimbangan itu muncul belakangan ini, setelah terjadi, lalu menyadari itu salah. Kejadian seperti ini sangat sering terjadi rasanya. Seperti sudah memilih dan melakukan yang benar, bahkan jika dipikir berulang kali. Tapi lain waktu, sadar kalau itu keliru. Jika itu kejadian sepele, mungkin hanya berhenti di menyesal. Tapi jika kejadian itu penting, maka aku bisa berlarut-larut memikirkannya sembari mengutuk diri sendiri, menyesali betapa memalukan atau bodohnya yang sudah kulakukan atau kupilih. Kini aku jauh lebih santai dengan itu semua, semenjak membaca buku karya Mark Manson berjudul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat. 
    Yap, buku ini membekas sekali terutama bab 6. Anda Keliru tentang Semua Hal (Tapi, Saya Pun Begitu). Bahwa kita memang bergerak dari salah banyak ke salah sedikit lalu ke salahlebih sedikit, dan itu sangat tidak apa-apa. Kekeliruan justru membuka kemungkinan adanya perubahan dan menandakan bahwa kita bertumbuh. Secara keseluruhan buku setebal 246 halaman ini memang unik dan mind blowing sekali. Bahkan saat pertama kali baca judulnya yang hah?!, judul aslinya adalah The Subtle Art of Not Giving A Fuck, pendekatan yang waras demi menjalani hidup yang baik, begitulah cover dalam buku ini. Berisi 9 bab dengan judul sub bab yang tak kalah unik, seperti Jangan Berusaha, Kebahagiaan itu Masalah, Anda Tidak Istimewa dan seterusnya, aneh bukan?!, tapi isinya sungguh menyegarkan. Semacam tamparan kecil yang menyadarkan untuk mengoreksi harapan-harapan delusional kita, baik tentang diri kita sendiri maupun dunia juga menerima batasan-batasan diri. Tepat saat kita mampu mengakrabi ketakutan, kegagalan, dan ketidakpastian tepat saat kita berhenti melarikan diri dan mengelak, lalu mulai menemukan keberanian dan kepercayaan diri yang selama ini kita cari dengan sekuat tenaga, disitulah kita bisa menjalani kehidupan yang lebih memuaskan dan apa adanya. Very recommended dan worth it untuk dibaca. 

Minggu, 17 September 2023

Menjadi Pasien Poli Jiwa (Part 1)

September 17, 2023 0 Comments
    November tahun lalu, dalam rangka memberi kado ulang tahun anakku yang ke-3, aku (akhirnya) pergi juga ke profesional guna meminta bantuan mereka dalam merawat kesehatan mentalku. Yap, kadonya berupa aku sebagai ibunya ingin jadi ibu yang lebih baik baginya, yang membersamainya tumbuh tanpa meninggalkan luka pengasuhan apapun. Keberadaan anakku 3 tahun lalu sebagaimana arti namanya, ‘berkah’. 
 Iya, dia memang berkah bagi kami sekeluarga. Gak perlu diragukan lagi rasa sayangku padanya. Rasanya bahkan aku gak bisa hidup tanpanya. Tapi bukankan berbeda antara menyayangi anak dengan anak merasakan rasa sayang tersebut. Aku khawatir dan terus bertanya-tanya apakah anakku merasakan ibunya sangat sayang dia, meski sering ku tolak keinginannya, sering ku marahi, sering ku buat nangis?. Aku pun terus belajar berbagai metode pengasuhan anak yang baik bagaimana. Tapi aku sadar ternyata sebanyak apapun sebagus apapun metode parenting yang kita pelajari, hasilnya pada anak sangat bergantung pada orang yang mempraktikkanya, dan itu aku.     
    Bersamaan dengan lahirnya anakku, rasanya aku ikut terlahir kembali jadi sosok yang baru. Anehnya sosok baru ini asing bagiku sendiri. Banyak hal mendasar yang berubah, memaksa berbeda, juga hilang dan kosong. Ditambah pula dengan adaptasi multi peran, sebagai anak, sebagai istri, sebagai menantu, dan sebagai bagian dari masyarakat. Makin sulit dengan kepribadianku yang INFJ si tipe langka yang suka menyendiri, overanalyzed, sensitif dan si susah minta bantuan. Lagi, tambahan gejolak hormon mulai dari hormon hamil, melahirkan, menyusui yang naik turun dan berganti-ganti. Disambut dengan support system yang sejujurnya belum begitu support. Semuanya berakumulasi menjadi gejala baby blues yang sepertinya berlanjut menjadi post patrum depression karena berlangsung hingga saat ini, 3 tahun lamanya. Tangis yang sering tiba-tiba ambyar tanpa alasan, mood yang tiba-tiba macam ayunan naik turunnya, anak tantrum akupun ikutan, tiap bangun tidur yang rasanya berat enggan menghadapi hari ini, begitu seterusnya. Jangan tanya hubunganku dengan anak dan  suami yang sudah pasti kena dampaknya, bahkan dengan orang tuaku sendiri, mertua apalagi. Bagiku semuanya tidak pernah ada yang memahamiku, tidak pernah ada yang cukup empati dan bersikap seperti yang aku harapkan, semuanya rasanya salah. Lebih dalam lagi, pemikiran, perasaan dan persepsi dirilah yang sepertinya lebih bermasalah. Tentu saja upaya- upaya mandiri untuk mengatasi diriku sendiri telah dan sedang kuusahakan. 
    Berbagai hal, mulai dari mendekatkan diri ke Sang Pencipta lewat ibadah, belajar meditasi, ikut yoga, belajar self hypnotherapy, rutin journalling, ikut aneka webinar kesehatan mental, mencari komunitas yang suportif, hingga menjejali diri dengan buku-buku motivasi dan pengembangan diri. Semua usaha itu tentu sedikit banyak berdampak dalam menjaga kewarasanku dan mengubah aneka persepsi yang keliru tentang kesehatan mental. Namun aku sadar sepenuhnya usaha-usaha ini belum cukup. Seperti ada monster dalam diri ini yang jauh lebih besar dan kuat dari usahaku mengalahkannya. Aku masih membenci diriku sendiri, menjadi pengkritik nomor satu atas diriku, menyesali dan mengutuk masa laluku, khawatir berlebihan tentang masa depan, dan membuat kacau masa kini. Aku benar-benar tahu seperti apa rasanya mati enggan hidup tak mau.
     Jadi kuputuskan untuk meminta bantuan profesional sebagai bentuk pantang menyerahku. Saat itu pergi ke psikiater atau psikolog adalah kemewahan, karena kondisi ekonomi kami masih sulit. Jadi aku pergi ke puskesmas berbekal tulisan di plang nama Puskesmas menerima “konsultasi psikologi”. Campur aduk rasanya saat itu, takut, aneh, malu, nekat, akh ya sudahlah, kali ini saja aku ingin minta tolong, aku pasrah, dsb. Tapi ternyata benar firman Allah, Ia akan menolong hambanya yang menolong dirinya sendiri. Singkat cerita di Puskesmas, aku konsultasi dengan perawat yang jadi koordinator konsultasi psikologi, ia minta maaf karena psikolog puskesmas datang per dua minggu jadi sementara ia menggantikan dulu, ia mendengarkanku dengan baik sembari mengisi selebaran assessment yang dari situ aku di anggap layak rujuk ke psikiater di Rumah Sakit terdekat. 
    
    Hari itu juga aku di rujuk, dan bertemu dengan psikiater sebagai pasiennya. Wow, ada sensasi berbeda setelah bercerita ke psikiater dengan cerita yang sama ke suami atau teman itu. Untuk pertama kalinya aku merasa ceritaku di anggap penting, masalahku di anggap ada, perasaanku di anggap valid, bukan lebay berlebihan mendramatisir. Terharu sekali ada yang bersikap begitu ke aku, lega sekali setelah cerita. Aku diberi oleh-oleh obat untuk membantuku tidur karena tidurku jelek saat itu, sembari wejangan untuk memperbaiki tidur, makan, dan meneruskan aneka usaha self healing tadi juga kembali kontrol dua minggu lagi. Ya Allah, kenapa tak kulakukan dari dulu saja begini ini, itu yang kupikirkan pasca pulang dari psikiater. Sebelum dua minggu berlalu, tiba-tiba ada chat masuk, mengabariku tentang psikolog datang ke puskesmas, dan aku di minta datang untuk konsultasi. Ku pikir akan sama saja rasanya dengan konsultasi ke psikiater kemarin. Ternyata pendekatan mereka berbeda. Yang aku rasakan, psikiater mengambil pendekatan masa kini dan kondisi fisik yang dirasa sekarang, sedangkan psikolog menggali lebih dalam dari masa lalu sebagai bagian dari sebab akibat yang dialami saat ini, seperti trauma pengasuhan, dll. Mengajakku menyadari persepsi bawah sadarku yang harus kubenahi. Sejam bersama psikolog rasanya tak berasa. Lagi-lagi aku berasa di dengar, di anggap penting dan dibantu keluar dari labirin gelap ini. 
    Besoknya jadwal kembali ke psikiater. Aku ceritakan dua minggu ke belakang, singkat cerita kali ini ia mengajakku untuk, ok ini memang gelap, tapi ayo cari sumber cahaya dan bergerak cari jalan keluar. Dijelaskannya bahwa aku depresi ringan, bisa disembuhkan dengan treatment yang butuh komitmenku untuk menjalani pengobatan yang butuh waktu panjang, butuh obat-obatan, bantuan dari support system yang dalam kasusku adalah suami, konsistensiku dalam melakukan usaha-usaha healing, dan usulan step by step rencana ke depan supaya bisa sembuh total dan tidak berulang. Sepulangnya konsultasi, aku nangis terharu menyadari kalau aku kali ini dibantu Allah dengan begitu baiknya lewat psikolog dan psikiater, dan berjanji akan menjalani proses sembuhnya dengan sungguh-sungguh. Kini, hampir 10 bulan berlalu, aku masih menepati janjiku. Aku rajin minum obat dengan teratur dan rutin kontrol baik ke psikiater maupun ke psikolog. Suamiku aku ajak juga ikut menemani sesuai anjuran psikiater, ia diberi wejangan supaya bisa menjadi support system yang baik. Dibarengi dengan rutin meditasi, journaling, dan sering latihan menyadari trigger, bersikap mindfull seperti ajaran psikologku. 
    Meski begitu masih banyak PR-ku. Aku masih berlatih mengelola waktu, energi, dan agendaku. Belajar menerima diri dan lebih welas asih terhadapnya. Juga belajar memaafkan orang tuaku atas luka pengasuhan yang mereka tinggalkan, menyadari bahwa mereka pun membawa luka masing-masing dan sudah melakukan versi terbaiknya sebagai orang tua. Belajar tak menyesali masa lalu, tak overthinking terhadap masa yang akan datang, dan memanfaatkan juga menikmati momen masa sekarang sebaik mungkin. Oh ya, hubunganku dengan suamiku, orang tua, mertua dan tentu saja anakku sudah jauh membaik. Aku jadi bisa sering-sering berada di posisi mereka, menyikapi aneka respon yang kurang sesuai dengan lebih santai, tak membawa-bawa luka lama dan persepsiku, dan rasanya lebih sayang mereka. Apa ya, kondisi sekarang rasanya jauh lebih tenang dan jernih, meski badai masalah tetap silih berganti datang. Rasanya hidupku lebih ringan. Iya mungkin ini karena support obat antidepresan yang masih kukonsumsi. Makanya akan ku gunakan masa pengobatan ini sebaik-baiknya untuk melatih diri lebih mindful (bukan mindfull), lebih baik dalam mengelola emosi, waktu, energi dan prioritas sembari menggali potensi diri supaya lebih berdaya. Satu kutipan favoritku, “ A woman who heals herself, help to heal her mother, her daughter, and every women around her”. Semoga aku berproses ke arah sana.