Penelitian bilang bahwa gangguan kesehatan mental itu dapat diturunkan dalam keluarga. Misalnya dari orang tua yang memiliki gangguan kesehatan mental ke anak mereka. Fakta tersebut bikin hati remuk rasanya, gak sanggup aku membayangkan anakku akan struggling juga dengan masalah kesehatan mental. Tapi aku buru-buru sadar dan berpikir jernih bahwa, pertama, itu belum tentu terjadi. Kedua, kondisiku dan kondisi anakku jauh berbeda, dan ketiga, aku bisa mencegahnya.
Mungkin sama seperti penyakit diabetes yang memang menurun secara genetik atau faktor resiko terkenanya lebih tinggi dibandingkan yang tidak punya keturunan diabetes. Namun, bukankan jika keturunannya menerapkan pola makan sehat dan menjalani gaya hidup yang berbeda dengan keluarganya yang diabetes, kemungkinan besar dia tidak akan terkena diabetes juga, bukan. Apalagi kondisiku pun terbilang berbeda dengan kondisi anakku sekarang.
Sekarang, informasi tentang kesehatan mental banyak dan mudah didapatkan, baik di lewat buku, media sosial, seminar online maupun tatap muka. Pergi ke psikiater maupun psikolog juga sudah makin dianggap biasa, dan masalah kesehatan mental sudah dianggap makin setara pentingnya dengan kesehatan fisik. Meski begitu masih ada saja yang menganggap itu hanya masalah kurang iman, kurang bersyukur, lebay, dan tabu. Tapi sungguh tak terbayang jika aku hidup di zaman ibu bapak dulu, jangan-jangan gangguan kesehatan mental yang bayangkan dan diobati jika sudah seperti ODJG yang keluyuran di jalanan. Betapa minimnya informasi, bantuan profesional dan sulitnya stigma masyarakat tentang kesehatan mental. Mungkin orang tua juga zaman dulu juga mengalami kesulitan dan tantangannya sendiri dalam menjaga kesehatan mental mereka, hanya mungkin mereka gak menyadari itu, atau menyadari tapi membiarkan begitu saja berlalu.
Aku pun tumbuh dalam keluarga yang minim sekali mengucapkan selamat, terimakasih, maaf, maupun sayang. Dalam hal ini, ku usahakan berbeda dengan anakku. Sejak kecil, aku membajirinya dengan ungkapan sayang, setiap bangun pagi, sebelum ia tidur, dan memeluknya sesering mungkin selagi ia masih mau dipeluk. Setelah kelepasan meneriakinya, saat sudah jernih kembali, aku minta maaf ke dia, mengatakan bahwa mama salah, gak seharusnya mama teriak saat marah. Berterimakasih atas bantuan kecilnya dalam kegiatan sehari-hari, serta memberinya selamat atas pencapain-pencapaian kecil yang ia lakukan supaya ia bangga dan percaya pada dirinya sendiri. Memang masih banyak kurang sana sini dan tentu saja masih panjang perjalanan menjadi orang tua ini. Namun sebisa mungkin meninggalkan hal buruk, memperbaiki yang kurang dan mengambil hal-hal baik yang sudah dilakukan orang tua dulu dan untuk diterapkan ke anak sekarang.
Satu lagi, karena kondisi ekonomi yang sulit, aku sempat kehilangan sosok ibu dan bapak saat masa SMA. Selama tiga tahun lamanya, mereka tak hadir secara fisik, emosional dan materi. Aku seperti anak yatim piatu selama itu. Aku terpaksa tinggal di rumah kakek nenek untuk bisa lanjut sekolah SMA, pindah nama jadi ikut di Kartu Keluarga Kakek supaya jadi warga Jawa Timur yang bayar SPP sekolahnya gratis, jajan dan biaya hidup lainnya sedikasihnya oleh Kakek dan Nenek. Gak bisa saling kirim SMS dan telepon karena Ibu Bapak dan aku sama-sama gak punya handphone saat itu. Kesulitan adaptasi karena beda bahasa daerah, asing dengan kota baru, belum punya teman, kesulitan belajar, butuh uang tambahan, dan segala krisis remaja pubertas yang galau mencari jati diri, mau tidak mau di hadapi sendirian. Beruntung zaman sekarang teknologi sudah canggih, meski berjauhan secara fisik tapi masih bisa terhubung dan tetap bisa hadir secara emosional lewat video call.
Terakhir, aku masih bisa mencegahnya sedari sekarang. Seperti yang kini sedang di ikhtiarkan secara konsisten, yakni :
- Mengajak dia mengenali dan menamai emosi yang ia rasakan. Hal pertama yang aku beli saat dapat komisi dari hasil jualanku adalah paket buku mengenal emosi sebagai kado ulang tahun ke-2 nya anakku. Iya, aku gak mau dia sering bingung tentang emosinya sendiri bahkan gak bisa kenalin apa yang ia rasa seperti aku. Tiap dia nangis atau tantrum, setelah ditemani dibuat tenang, ku usahakan untuk bilang ataupun tanya apa ia sedang rasakan? Marah kah? Kesel? Sedih? dst. Lalu tanya kenapa biar dia bisa ceritain dan terakhir tanya dia butuh dibantu apa? Mau di peluk? dll.
- Memvalidasi emosinya dan membiarkannya mengeluarkan emosinya. Seperti menangis, mempersilahkannya menangis gak buru-buru memarahinya untuk stop menangis, ia boleh kog nangis itu biar lega, gak perlu di tahan-tahan bikin numpuh emosi gak sehat. Terdenger sepele, tapi terapannya sunggug menantang, apalagi kalau menangisnya di depan umum atau menangis teriak-teriak lama. Sungguh menggoda hati dan mulut untuk ikut ngomelinnya.
- Tidak memberikan label karakter jelek. Mengoreksi atau mengomelinya fokus ke perbuatan salah yang ia lakukan, tanpa melabelinya nakal, gak bisa di atur, dll.
Segini saja butuh ekstra sabar untuk konsisten ternyata, padahal tentu saja 3 ikhtiar diatas belum cukup untuk bekal menjaga kesehatan mentalnya.
Dear anakku, kelak kalau kamu baca ini semoga kita masih sambil becanda bernostalgia tentang kelakuan menggemaskanmu waktu kecil. Semoga mama panjang umur dan sehat lahir batin selalu tanpa kurang satu apapun supaya bisa menemani melewati golden age mu, mendampingimu adaptasi awal masuk sekolah, mendampingi masa pubertasmu, masa galau mencari jati dirimu, masa merintis karirmu, memutuskan menikah, menemanimu pasca melahirkan, dan benar-benar menjadi support systemmu secara fisik, secara materi maupun emosional. Menjadi rumah yang aman dan nyaman penuh cinta tanpa syarat untukmu.
Maafkan mama karena genetik mama yang merugikan kamu ini. Maaf jika kamu malu punya mama yang punya gangguan kesehatan mental. Mama sendiri pun belum berani cerita ke orang lain tentang ini selain papamu. Malu, takut di stigma, gak siap dengan aneka respon orang lain saat tahu mama ke psikiater psikolog karena kena gangguan kesehatan mental. Tapi nak, jauh dalam diri mama, mama bangga ke diri sendiri karena berobat, minta bantuan profesional, disiplin minum obat dan melakukan aneka usaha self healing. Sungguh keputusan yang mama menyesal kenapa tidak mama lakukan lebih awal. Semua usaha ini motivasi terbesarnya itu untuk kamu, supaya mama tidak lebih banyak meninggalkan luka pengasuhan dalam dirimu yang berharga, supaya kamu tumbuh sehat fisik maupun mental. Kelak mama akan mengajakmu menulis jurnal, yoga bareng, belajar mindfulness, meditasi, ikut pelatihan aneka teknik self healing TAT, hypnoteraphy, access bar, human design, dan banyak lagi yang lainnya yang mama kira bisa membantu merawat kesehatan mental. Semoga mama bisa segera selesai dengan diri mama sendiri, menerima dan mencintai diri sendiri tanpa membiarkan diri mama apa adanya, bisa menjadi contoh baik sebagai manusia dan sosok ibu bagimu dan membersamai tumbuh kembangmu dengan penuh cinta. Salam sayang dari mama yang akan segera sembuh dan pulih.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar