Minggu, 17 September 2023

Menjadi Pasien Poli Jiwa (Part 1)

    November tahun lalu, dalam rangka memberi kado ulang tahun anakku yang ke-3, aku (akhirnya) pergi juga ke profesional guna meminta bantuan mereka dalam merawat kesehatan mentalku. Yap, kadonya berupa aku sebagai ibunya ingin jadi ibu yang lebih baik baginya, yang membersamainya tumbuh tanpa meninggalkan luka pengasuhan apapun. Keberadaan anakku 3 tahun lalu sebagaimana arti namanya, ‘berkah’. 
 Iya, dia memang berkah bagi kami sekeluarga. Gak perlu diragukan lagi rasa sayangku padanya. Rasanya bahkan aku gak bisa hidup tanpanya. Tapi bukankan berbeda antara menyayangi anak dengan anak merasakan rasa sayang tersebut. Aku khawatir dan terus bertanya-tanya apakah anakku merasakan ibunya sangat sayang dia, meski sering ku tolak keinginannya, sering ku marahi, sering ku buat nangis?. Aku pun terus belajar berbagai metode pengasuhan anak yang baik bagaimana. Tapi aku sadar ternyata sebanyak apapun sebagus apapun metode parenting yang kita pelajari, hasilnya pada anak sangat bergantung pada orang yang mempraktikkanya, dan itu aku.     
    Bersamaan dengan lahirnya anakku, rasanya aku ikut terlahir kembali jadi sosok yang baru. Anehnya sosok baru ini asing bagiku sendiri. Banyak hal mendasar yang berubah, memaksa berbeda, juga hilang dan kosong. Ditambah pula dengan adaptasi multi peran, sebagai anak, sebagai istri, sebagai menantu, dan sebagai bagian dari masyarakat. Makin sulit dengan kepribadianku yang INFJ si tipe langka yang suka menyendiri, overanalyzed, sensitif dan si susah minta bantuan. Lagi, tambahan gejolak hormon mulai dari hormon hamil, melahirkan, menyusui yang naik turun dan berganti-ganti. Disambut dengan support system yang sejujurnya belum begitu support. Semuanya berakumulasi menjadi gejala baby blues yang sepertinya berlanjut menjadi post patrum depression karena berlangsung hingga saat ini, 3 tahun lamanya. Tangis yang sering tiba-tiba ambyar tanpa alasan, mood yang tiba-tiba macam ayunan naik turunnya, anak tantrum akupun ikutan, tiap bangun tidur yang rasanya berat enggan menghadapi hari ini, begitu seterusnya. Jangan tanya hubunganku dengan anak dan  suami yang sudah pasti kena dampaknya, bahkan dengan orang tuaku sendiri, mertua apalagi. Bagiku semuanya tidak pernah ada yang memahamiku, tidak pernah ada yang cukup empati dan bersikap seperti yang aku harapkan, semuanya rasanya salah. Lebih dalam lagi, pemikiran, perasaan dan persepsi dirilah yang sepertinya lebih bermasalah. Tentu saja upaya- upaya mandiri untuk mengatasi diriku sendiri telah dan sedang kuusahakan. 
    Berbagai hal, mulai dari mendekatkan diri ke Sang Pencipta lewat ibadah, belajar meditasi, ikut yoga, belajar self hypnotherapy, rutin journalling, ikut aneka webinar kesehatan mental, mencari komunitas yang suportif, hingga menjejali diri dengan buku-buku motivasi dan pengembangan diri. Semua usaha itu tentu sedikit banyak berdampak dalam menjaga kewarasanku dan mengubah aneka persepsi yang keliru tentang kesehatan mental. Namun aku sadar sepenuhnya usaha-usaha ini belum cukup. Seperti ada monster dalam diri ini yang jauh lebih besar dan kuat dari usahaku mengalahkannya. Aku masih membenci diriku sendiri, menjadi pengkritik nomor satu atas diriku, menyesali dan mengutuk masa laluku, khawatir berlebihan tentang masa depan, dan membuat kacau masa kini. Aku benar-benar tahu seperti apa rasanya mati enggan hidup tak mau.
     Jadi kuputuskan untuk meminta bantuan profesional sebagai bentuk pantang menyerahku. Saat itu pergi ke psikiater atau psikolog adalah kemewahan, karena kondisi ekonomi kami masih sulit. Jadi aku pergi ke puskesmas berbekal tulisan di plang nama Puskesmas menerima “konsultasi psikologi”. Campur aduk rasanya saat itu, takut, aneh, malu, nekat, akh ya sudahlah, kali ini saja aku ingin minta tolong, aku pasrah, dsb. Tapi ternyata benar firman Allah, Ia akan menolong hambanya yang menolong dirinya sendiri. Singkat cerita di Puskesmas, aku konsultasi dengan perawat yang jadi koordinator konsultasi psikologi, ia minta maaf karena psikolog puskesmas datang per dua minggu jadi sementara ia menggantikan dulu, ia mendengarkanku dengan baik sembari mengisi selebaran assessment yang dari situ aku di anggap layak rujuk ke psikiater di Rumah Sakit terdekat. 
    
    Hari itu juga aku di rujuk, dan bertemu dengan psikiater sebagai pasiennya. Wow, ada sensasi berbeda setelah bercerita ke psikiater dengan cerita yang sama ke suami atau teman itu. Untuk pertama kalinya aku merasa ceritaku di anggap penting, masalahku di anggap ada, perasaanku di anggap valid, bukan lebay berlebihan mendramatisir. Terharu sekali ada yang bersikap begitu ke aku, lega sekali setelah cerita. Aku diberi oleh-oleh obat untuk membantuku tidur karena tidurku jelek saat itu, sembari wejangan untuk memperbaiki tidur, makan, dan meneruskan aneka usaha self healing tadi juga kembali kontrol dua minggu lagi. Ya Allah, kenapa tak kulakukan dari dulu saja begini ini, itu yang kupikirkan pasca pulang dari psikiater. Sebelum dua minggu berlalu, tiba-tiba ada chat masuk, mengabariku tentang psikolog datang ke puskesmas, dan aku di minta datang untuk konsultasi. Ku pikir akan sama saja rasanya dengan konsultasi ke psikiater kemarin. Ternyata pendekatan mereka berbeda. Yang aku rasakan, psikiater mengambil pendekatan masa kini dan kondisi fisik yang dirasa sekarang, sedangkan psikolog menggali lebih dalam dari masa lalu sebagai bagian dari sebab akibat yang dialami saat ini, seperti trauma pengasuhan, dll. Mengajakku menyadari persepsi bawah sadarku yang harus kubenahi. Sejam bersama psikolog rasanya tak berasa. Lagi-lagi aku berasa di dengar, di anggap penting dan dibantu keluar dari labirin gelap ini. 
    Besoknya jadwal kembali ke psikiater. Aku ceritakan dua minggu ke belakang, singkat cerita kali ini ia mengajakku untuk, ok ini memang gelap, tapi ayo cari sumber cahaya dan bergerak cari jalan keluar. Dijelaskannya bahwa aku depresi ringan, bisa disembuhkan dengan treatment yang butuh komitmenku untuk menjalani pengobatan yang butuh waktu panjang, butuh obat-obatan, bantuan dari support system yang dalam kasusku adalah suami, konsistensiku dalam melakukan usaha-usaha healing, dan usulan step by step rencana ke depan supaya bisa sembuh total dan tidak berulang. Sepulangnya konsultasi, aku nangis terharu menyadari kalau aku kali ini dibantu Allah dengan begitu baiknya lewat psikolog dan psikiater, dan berjanji akan menjalani proses sembuhnya dengan sungguh-sungguh. Kini, hampir 10 bulan berlalu, aku masih menepati janjiku. Aku rajin minum obat dengan teratur dan rutin kontrol baik ke psikiater maupun ke psikolog. Suamiku aku ajak juga ikut menemani sesuai anjuran psikiater, ia diberi wejangan supaya bisa menjadi support system yang baik. Dibarengi dengan rutin meditasi, journaling, dan sering latihan menyadari trigger, bersikap mindfull seperti ajaran psikologku. 
    Meski begitu masih banyak PR-ku. Aku masih berlatih mengelola waktu, energi, dan agendaku. Belajar menerima diri dan lebih welas asih terhadapnya. Juga belajar memaafkan orang tuaku atas luka pengasuhan yang mereka tinggalkan, menyadari bahwa mereka pun membawa luka masing-masing dan sudah melakukan versi terbaiknya sebagai orang tua. Belajar tak menyesali masa lalu, tak overthinking terhadap masa yang akan datang, dan memanfaatkan juga menikmati momen masa sekarang sebaik mungkin. Oh ya, hubunganku dengan suamiku, orang tua, mertua dan tentu saja anakku sudah jauh membaik. Aku jadi bisa sering-sering berada di posisi mereka, menyikapi aneka respon yang kurang sesuai dengan lebih santai, tak membawa-bawa luka lama dan persepsiku, dan rasanya lebih sayang mereka. Apa ya, kondisi sekarang rasanya jauh lebih tenang dan jernih, meski badai masalah tetap silih berganti datang. Rasanya hidupku lebih ringan. Iya mungkin ini karena support obat antidepresan yang masih kukonsumsi. Makanya akan ku gunakan masa pengobatan ini sebaik-baiknya untuk melatih diri lebih mindful (bukan mindfull), lebih baik dalam mengelola emosi, waktu, energi dan prioritas sembari menggali potensi diri supaya lebih berdaya. Satu kutipan favoritku, “ A woman who heals herself, help to heal her mother, her daughter, and every women around her”. Semoga aku berproses ke arah sana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar