Rabu, 06 Agustus 2025

Memeluk Luka Inner Child

     Anakku sekarang jadi murid TK B, dan sebagaimana anak-anak seumuran dia pada umumnya para ibu mereka mulai mengajari pelajaran baca tulis hitung. Aku sering lihat berseliweran update status story WhatsApp atau media sosial lainnya teman-temanku yang punya anak TK pamer tulisan tangan anaknya atau video anaknya bisa mengeja huruf. Ada yang di ajari sendiri adapula yang mendatangkan guru privat atau dimasukkan les calistung. Sebetulnya aku tidak “panas hati” atas pencapaian anak-anak mereka, karena aku dan ayahnya sejak dulu tipikal orang tua yang santai dan tidak terlalu kompetitif. Hanya saja aku jadi terbersit sepertinya mulai harus membiasakan anakku mengenal adanya jam fokus belajar rutin tiap harinya. Selama ini sepulang sekolah, dia makan siang lanjut tidur siang, lalu sore setelah makan, ia akan bermain bebas dengan teman-temannya di toko sampai jam 9 malam, terus pulang ke rumah untuk tidur. Aku masih yang percaya bahwa bermain itu memberikan berbagai stimulasi yang bermanfaat untuk dia dan itulah caranya belajar. Dengan berbagai variasi bermain dia mendapat stimulasi motorik kasar, motorik halus, belajar menangani konflik, komunikasi bahasa, dan tentu saja aktif bergerak. Sedangkan tentang belajar membaca dan berhitung, aku mengenalkan huruf lewat membacakan dongeng setiap malam, dan berhitung lewat objek riil yang bisa di hitung atau pakai uang. Selama ini aku merasa itu sudah cukup, tapi akhir-akhir ini aku rasa di perlu juga di latih untuk belajar dalam kondisi duduk dan mengenal angka huruf lewat aneka worksheet. Aku pun mulai sounding ke dia mengapa di harus melakukan itu dan pembiasaanya cukup 10 menit saja setiap hari.

    Hari itu pun di mulai, dalam jeda ba’da Maghrib aku ajak dia duduk diam di atas meja kerjaku, mensodorinya aneka latihan huruf dan angka secara bergantian. Kadang media belajarnya pakai kertas dan spidol, kadang pakai laptop, kadang pakai mainannya yang berbentuk huruf abjad, atau pakai buku bacaan dan worksheet yang memang diperuntukan untuk latihan calistung. Sebisa mungkin aku pun membuatnya menjadi moment yang menyenangkan. Aku beri tahu dia betapa asyiknya bisa membaca dan berhitung. Aku banjiri dia dengan pujian saat dia melakukannya dengan baik. Aku menahan diri sebisa mungkin untuk tidak marah saat dia salah berulang kali. Aku berusaha untuk tidak mengkoreksinya dengan heboh dan menyalahkannya. Aku rayu dengan iming-iming jajan jika dia sudah mulai rewel ingin segera berhenti belajar sebelum 10 menit berakhir. Aku juga membekali diri dengan membaca buku dan belajar fonik supaya mengajarinya dengan baik dan tidak membosankan. Aku ingin dia ingat bahwa belajar membaca dan berhitung dengan mama itu menyenangkan.

    Rasanya aku sudah melakukan yang terbaik semampuku. Namun ternyata respon anakku berbeda dengan ekspektasiku. Dia sering sekali enggan untuk mulai duduk diam belajar, sulit sekali membujuknya untuk sekadar bertahan 10 menit saja. Kadang ia sengaja menjawab asal-asalan, kadang dia tiba-tiba membisu lalu tertawa terbahak-bahak melihat aku yang frustasi membujuknya untuk fokus. Kadang saat belajar menulis ia malah menggambar, kadang ia belajar sambil merajuk, sambil cemberut dan menjawab pertanyaanku secara terpaksa. Secara hasil belajar progressnya rasanya lambat sekali, dan secara proses benar-benar jauh dari ekspektasiku. Setiap habis belajar aku selalu bertanya sendiri apa yang salah, apa yang bisa ku perbaiki. Lalu ku coba lagi keesokan harinya, mencoba menyodorkan hal yang baru, dengan senyum yang lebih ceria, dengan intonasi suara yang lebih lembut, dengan mimik wajah yang lebih playful, dan aneka cara lain supaya dia bisa lebih nyaman belajar 10 menit tadi. Terhitung hampir satu bulan begini ini, dan lagi-lagi progress hasil maupun prosesnya rasanya minim perubahan.

    Lalu kemarin saat anakku mulai bertingkah rewel untuk belajar 10 menit itu, meledaklah timbunan rasa lelah, bingung, kecewa, marah dan khawatir itu. Di depannya aku menangis tersedu-sedu, sampai ia sendiri bingung dan memelukku. Aku terus mempertanyakan ‘kurang sabar apa aku ke dia’, ‘apa selama ini semua usahaku sia-sia’. Emosi itu datang begitu pekat dan butuh waktu lama untuk benar-benar tenang, bahkan keesokan harinya pun aku masih menangis. Aku sendiri terheran-heran kenapa bisa se-emosional ini aku kali ini. Bukankah ini cuma perasaan lelah mengajari anak yang rewel belajar?. Lama aku berpikir ternyata ini bukan perkara anakku. Ternyata aku lah yang aku tangisi, aku yang ter-trigger masa kecilku sendiri. Mengajari anakku belajar sepertinya memanggil kembali memori-memori aku dulu diajari belajar juga dan bagaimana aku di perlakukan saat kecil. Ada anak kecil duduk di kursi plastik warna biru belajar diatas meja bergambar lukisan sawah di ruang tamu, setiap habis maghrib mamanya mengajari pelajaran sekolah dan bapaknya mengajarinya mengaji. Pahanya penuh luka memar biru bekas cubitan kecil dari sang mama. Kadang ia menulis PR sekolahnya sambil menangis, kadang ia menahan semua keluh kesahnya dalam diam tanpa suara karena takut pukulan sapu lidi mendarat di pantatnya. Saat ia benar tak pernah di puji, saat ia salah ia akan dikatai “belet” (baca:bodoh) atau “kitu oge teu bisa” (baca: gitu aja gak bisa). Saat ia menolak itu artinya melawan orang tua dan tentu saja omelan amarah dan omongan pedas menyakitkan hati yang keluar dari mulut mereka. Bapaknya hanya diam melihat ia di cubiti dan dihujani kata-kata menyakitkan itu. Ia merasa sendirian, tak ada yang membelanya, mungkin juga tak ada yang peduli. Hingga ia pun memutuskan untuk menahan, diam, dan menjadi anak baik saja. Anak itu adalah aku.

    Aku gak menyangka kejadian yang terjadi sudah sangat lama itu ternyata menjadi satu trauma yang tersimpan dalam tubuhku hingga sekarang. Saat mengingatnya dadaku terasa sesak, tanganku gematar dan air mata terus saja mengalir. Mungkin Restu kecil juga ingin menolak, ingin rewel, ingin menangis, ingin teriak, dan ingin berontak kabur saat  ia kecil, sama seperti yang dilakukan anakku sekarang. Restu kecil juga ingin di puji saat melakukan hal yang baik/benar. Ia ingin mama bapaknya tidak melulu mengungkit dan membesarkan kesalahannya. Apalagi mengatainya dengan umpatan kasar dan omongan yang membuat hatinya ciut. Ia ingin di dengar, ia ingin di peluk dan di tenangkan saat menangis. Ia ingin menolak tanpa di katai membangkang, Ia ingin tetap di sayangi orang tuanya meski tidak menjadi anak baik dan sempurna. Restu kecil merasa cinta mama dan bapaknya penuh syarat dan sulit sekali menjadi anak  kebanggan mereka, apalagi jika sudah dibandingkan dengan teman-teman yang lain dan adiknya sendiri. Hampir tak pernah ia mendengar mama bapaknya mengatakan “terimakasih”, “maaf”, “aku sayang kamu”, atau memeluknya menciuminya, dan ia terus mempertanyakan apakah mereka kecewa padanya, apakah ia disayang orang tuanya, bahkan sampai ia dewasa tak pernah terjawab. Dan kini, Restu kecil iri pada anakku yang mendapat semua itu.

Sumber : Pinterest, Image Credit @ Kimberly Jay


    Dari pengasuhan yang kita dapat, mungkin kita akan mengambil sebagian yang kita anggap baik dan membuang yang buruknya. Termasuk melakukan kebalikan dari sesuatu yang buruk dalam pengasuhan kita dulu. Begitulah yang ku coba lakukan terhadap anakku sekarang. Meski memang rasanya tak mudah memberi sesuatu yang sebelumnya tidak kita dapatkan. Meski sulit bersikap berbeda dari yang sebelumnya di contohkan. Harus belajar ulang, harus membangun kesadaran, harus bersikap mindful, harus banyak yang dilakukan dan pelajari. Semua demi tidak menjadikan anak mempunyai luka yang sama.

Teruntuk Restu kecil, “Sini nak, sini kupeluk…. kamu aman sekarang, gak apa kalau mau nangis, itu bukan cengeng atau lemah, nangis aja gakpapa. Lihat! Kamu tumbuh dengan kecantikan khasmu. Gigi seri yang patah dulu sudah kita perbaiki dan tak lagi membuat malu untuk sekadar tersenyum. Lihat! Kamu gak bodoh, lihat! kamu berhasil selesaikan study-mu sampe Sarjana. Dan lihat! kamu juga bisa melakukan banyak hal loh, bertahan sendirian di perantauan sejak SMA, kerja di banyak bidang, dan sekarang menjadi ibu. Gak apa melakukan kesalahan, gakpapa, bisa kita perbaiki. Sekarang cobalah! Coba banyak hal yang kamu inginkan sejak dulu tanpa perlu khawatir berlebihan. Gakpapa gagal, salah, berisiko, malu, rusak, jatuh, rugi, terluka, sakit itu hal yang biasa saja terjadi. Kita tetap bisa belajar dari hal itu. Sekarang kamu berdaya, kamu bisa merubah keadaan seperti yang kamu ingin dan yakini. Dan sekarang kamu boleh berhenti jadi anak baik. Kamu boleh nolak hal yang kamu gak suka kamu gak mau. Kamu boleh memilih bebas tanpa perlu membuat orang lain senang atau suka. Kamu sekarang boleh marah saat ada yang menyakiti hati dan tubuhmu. Kadang orang akan kecewa terhadapmu, tapi biarlah, kita memang gak bisa membuat semua orang senang, membuat semua orang suka, dan itu gakpapa. Kamu gak perlu jadi sempurna untuk merasa berharga. Keberadaanmu saja sudah berharga. Kamu di sayang, bahkan saat semua orang tidak menyukai dan menyangimu, aku disini, aku menyayangimu apa adanya. Kadang dunia terasa berat dan jahat, tapi kita bisa kog melaluinya. Lihat! Kita bisa bertahan sampai sekarang. Kita melakukannya dengan baik, dan seterusnya akan seperti itu. Aku akan berada terus disisimu. menemani masa terang dan gelapmu, juga terus bertumbuh bersamamu. Satu lagi, aku sangat bangga padamu". Dari Restu umur 32 tahun. 

1 komentar:

  1. Inspiratif sekali, ditunggu tulisan selanjutnya, salam satu rasa.

    BalasHapus