Mungkin banyak yang bertanya-tanya seperti apa rasanya depresi, apa bedanya dengan sedih, dengan duka, dengan stres, dengan trauma. Lalu kenapa sampai butuh berobat ke profesional. Kenapa tidak cukup dengan bahagia, beribadah, bersyukur, refreshing atau jalan-jalan healing. Kenapa bisa terjadi, apa penyebabnya, apa bisa sembuh, apa bisa kambuh. Kenapa harus minum obat, apa selalu harus dengan obat, apa gak membuat kecanduan dan efek samping kesehatan lainnya. Apakah ini benar-benar “sakit”, apa bukan halusinasi atau sikap lebay saja. Semua orang juga punya masalah dan struggle-nya sendiri, kenapa bisa terkena depresi sedangkan yang lain bisa baik-baik saja. Apa pengidap depresi itu karena mentalnya saja yang lemah. Dan aneka pertanyaan lainnya. Sebelum itu, disclaimer dulu, aku bukan seorang profesional yang berhak menjawab semua pertanyaan diatas secara ilmiah. Aku hanya seorang pejuang depresi yang sedang berusaha pulih. Kelak ceritaku ini juga bukan untuk menjadi bahan self diagnose juga ya. Aku hanya ingin bercerita tentang si depresi ini dari POV seorang yang berusaha berdamai dengannya.
Awalnya aku hanya terkena baby blues pasca melahirkan. Kehidupan menjadi seorang ibu baru sungguh banyak hal tak terduga. Rasanya duniaku seketika berubah. Prioritasku berubah karena sekarang ada anak yang menjadikan aku dunianya. Tubuhku juga berubah, gejolak hormon hamil-melahirkan-menyusui sungguh membuatku kesulitan mengontrol mood. Belum lagi tentang berat badan, rambut rontok, payu**ra yang ikut bengkak dan lecet saat menyusui. Jam tidur yang berkurang banyak dan jadi tak menentu. Pola makan yang juga berantakan tapi jadi banyak pantangan makanan karena menyusui. Tak ada lagi berlama-lama nongkrong di warkop, jalan-jalan santai ke luar rumah, bahkan tak ada lagi mandi dengan tenang. Sisi lain kehidupanku sebagai seorang istri juga harus tetap berjalan. Aku harus memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah dan mengatur segala sesuatunya. Semua harus kulakukan seorang diri, karena jauh dari keluarga, dan belum mampu untuk membayar ART. Saat itu sungguh rasanya waktu 24 jam gak cukup, aku lelah tapi banyak yang harus kulakukan. Mempunyai anak itu sungguh bahagia, tapi mengurusnya seharian sendirian dan setiap hari itu sungguh hal berbeda. Aku sering clueless, jenuh, dan jadi ikutan tantrum saat anakku tantrum. Jika tahu akan se-hectic dan se”nano-nano” ini saat punya anak, mungkin aku akan lebih mempersiapkan diri terlebih dahulu secara fisik-mental-finansial sebelum punya anak. Sayangnya tak pernah ada kata benar-benar siap untuk menjadi ibu dan sekolahnya menjadi orang tua adalah sekolah mandiri yang berlangsung seumur hidup. Semoga seseorang yang membaca ini yang belum menikah atau belum mempunyai anak tidak malah menjadi takut dan berpikir berlebihan seolah kehidupan pernikahan atau punya anak itu menakutkan. Tidak, sungguh!.
Seberat apapun adaptasi saat awal menjadi ibu, semua akan baik-baik saja, kuncinya ada di support system. Keberadaan orang-orang yang memahami bahwa kamu juga butuh dipenuhi kebutuhan dasarnya sesederhana butuh kenyang dulu, butuh mandi juga, butuh istirahat cukup. Yang peduli kalau kamu butuh jeda, butuh sesekali ke luar rumah, sesekali makan beli atau makan di luar, sesekali jajan, sesekali laundry, sesekali libur dari kerjaan rumah, dan tentu saja butuh sesekali gantian pegang anak. Jika semua itu berlebihan, maka sekadar berempati pada seorang ibu baru, yang juga bisa capek sama seperti para pekerja yang keluar rumah mencari uang, itu mungkin cukup menjadi support system. Hmmm, sayang sekali, saat itu aku hampir tidak punya seseorang yang bisa ku sebut sebagai support system. Suamiku, singkat cerita saat itu ia belum tersadarkan dan se-supportive seperti sekarang. Dibesarkan dalam keluarga patriarki kental memang membuatnya kesulitan memahami bahwa peran seorang suami dan ayah itu bukan sekadar mencari pundi-pundi uang. Ada anak kami yang juga butuh waktu, tenaga dan butuh merasakan kasih sayangnya sebagai seorang ayah. Ada rumah yang kami tinggali bersama yang butuh campur tangannya agak tetap bisa di tinggali dengan nyaman. Ada istri yang meskipun sekarang jadi seorang ibu, tapi butuh juga di perhatikan selayaknya pasangan, bukan robot, babysitter atau pembantu. Lalu tentang keluarga lain, orang tua, mertua, mereka semua tinggal beda kota, jadi memang tidak memungkinkan membantu. Dan sebagaimana kebanyakan generasi Gen X, banyak sekali ilmu, mindset dan informasi yang berbeda mengenai pengasuhan anak di zaman sekarang. Niat mereka baik, tapi mereka sering lupa bahwa ilmu dan informasi berkembang terus, dan kadang mereka susah melepas hal-hal yang mereka anggap benar dan turun temurun sekalipun itu salah. Seperti halnya sudah tidak lagi bayi dipakaikan bedong ketat berhari-hari, meminumkan kopi supaya tidak terkena kejang demam, memberi air putih atau madu pada bayi yang masih belum genap seminggu, memberi makan pisang sebelum usia 6 bulan, dll. Ada juga yang dulu di anggap hal yang tidak boleh bagi anak, tapi sekarang bernilai baik, seperti berjalan tanpa alas kaki ‘nyeker’, membacakannya buku sekalipun bayi belum bisa membaca, makan telur setiap hari, main lumpur, main becek-becekan, hujan-hujanan, dst. Kadang gesekan perbedaan lintas generasi ini cukup membuatku kesulitan. Mereka juga sering lupa, sesayang apapun mereka terhadap cucunya, tetap saja akulah ibunya, aku bukanlah babysitter yang mereka titipi anak. Saat cucu mereka luka atau sakit atau kenapa-napa, yang menanggung konsekuensinya, yang paling khawatir, yang kerepotan, yang berasa bersalah, yang kewalahan, yang sedih, dan juga ikut merasakan sakitnya itu adalah aku, ibunya. Jika tidak bisa membantu hadir secara langsung, setidaknya tidak perlu menyalahkan dan mengomentari hal-hal yang menyakitkan hati anaknya. Sedikit belas kasih terhadap anaknya ini yang pertama kali menjadi ibu dan masih belajar menjadi orang tua mungkin akan sangat berarti. Sayangnya tidak aku dapatkan.
Jika kalian pikir perkara ketiadaan support system ini sudah membuat baby blues-ku berkembang lebih parah menjadi Postpatrum Depression, kalian salah. Ada lagi yang membuatnya terasa sebagai “bencana yang tak berakhir”, yaitu aku sendiri. Aku merindukan diriku yang dulu. Aku kangen sekali bisa bekerja diluar, bertemu banyak orang, membicarakan hal-hal selain popok, mpasi, harga sembako, menu masakan, dan ide stimulasi anak. Aku kangen berkompetisi soal kinerja dan target. Oh tentu saja aku juga kangen dapat gaji. Aku ingin membelanjakan uang gajianku tanpa beban tanpa perlu izin dan tanpa merasa bersalah memprioritaskan diri sendiri. Aku ingin dapat apresiasi atas hasil usahaku lagi. Aku ingin bekerja dalam batas jam kerja, yang setelahnya aku bisa bebas bersantai. Aku ingin sesekali libur, izin sakit, dan cuti. Semua hal ini tak lagi bisa kudapatkan setelah menikah dan mempunyai anak. Menjadi ibu rumah tangga awalnya memang sebuah pilihan sadar yang aku dan suamiku pilih. Tapi memang harus aku akui bahwa ada sebagian dari diriku yang merasa dalam kondisi “tidak ada pilihan lain”. Aku sudah bekerja part time sejak SMA, kuliah pun sambil aktualisasi cari uang, aku memang tidak punya jenjang karir yang bisa dibanggakan, pekerjaanku hanya pekerjaan yang sebatas bertahan hidup asal menghasilkan uang, berganti-ganti, berpindah kota, hanya sekadar menangkap peluang yang ada. Tapi diam-diam aku bangga atas pencapaianku sendiri. Bisa mandiri sejak SMA, kuliah sendiri tanpa merepotkan orang tua, dan menjalani setiap pekerjaanku dengan penuh dedikasi. Selama ini bukan hanya uang kuhasilkan, tapi juga pengakuan, apresiasi, lahan aktualisasi dan yang paling penting adalah perasaan berdaya dan kepercayaan diri. Lalu kemudian, kondisi tidak lagi bekerja begini ikut membuat aku kehilangan rasa berdayaku, kepercayaan diri dan perlahan membuatku merasa tidak berharga. Aku kehilangan diriku sendiri.
Lanjut Part 2...


Tidak ada komentar:
Posting Komentar