Kalau tidak sedang berjuang dengan episode depresi selama hampir 3 tahun berjalan ini, mungkin aku gak akan sadar kalau sebegitu bencinya aku terhadap diri sendiri. Sebagai pasien rawat jalan poli jiwa, salah satu terapi yang harus dilakukan adalah belajar mencintai diri sendiri. Aku sempat bingung apa yang salah dengan caraku mencintai diri sendiri, atau bagaimana cara yang benar mencintai diri sendiri itu. Lalu perlahan aku tersadar bahwa selama ini aku selalu berusaha memberikan cinta dan usaha terbaikku kepada orang-orang sekitarku tapi tidak untuk diriku sendiri. Aku selalu menjadi tukang kritik nomor satu untuk diriku sendiri, aku bisa mengapresiasi usaha orang lain dengan baik dan tulus tapi tidak atas usahaku sendiri, aku sering mengabaikan perasaan dan kepentinganku demi orang lain, juga menjadi sosok yang sangat baik, terlalu sungkan menolak atau memberi batasan dan bersikap loyal agar diterima di anggap baik dan dicintai orang lain. Aku sangat perhitungan cenderung pelit dalam hal uang jika itu untuk kebutuhanku. Aku juga sering tidak mendengarkan apa kata tubuhku. Aku pun sering mengutuk berlarut-larut kesalahan dan kebodohan yang sudah lakukan. Entah bagaimana selama ini aku hidup, jangankan mencintai, aku rasa tanpa sadar aku membenci diriku sendiri selama ini. Sikapku sungguh sangat buruk terhadap diri sendiri.
Setelah
tersadar begitu, terus terang aku bingung mulai dari mana memperbaikinya.
Pertanyaan bagaimana seharusnya aku mencintai diriku sendiri masih belum
terjawab. Entah apa batasnya dengan manja dan menjadi egois. Entah kapan pula harus
mendorong diri sendiri dan kapan harus berwelas asih terhadap diri sendiri. Tapi
bagaimanapun juga mari tetap melangkah dalam ketidaktahuan ini. Bukankah sudah
menyadari saja merupakan sebuah langkah kemajuan, bukan?. Jadi mari terus
berproses belajar mencintai diri sendiri. Berikut buah dari banyak perenungan
dan self talk dalam perjalanan mencintai diri sendiri selama ini.
- 💖Tentang Mengutuk Kesalahan dan Kebodohan Diri
Sendiri
Setelah
berumahtangga aku dan orang tuaku tinggal terpisah jarak 740 kilometer jauhnya.
Aku tinggal di kota cukup besar di Jawa Timur, sedangkan mereka tinggal di desa
kecil di Jawa Barat. Suatu hari mereka datang mengunjungiku. Demi menyambut
kedatangan mereka aku menyiapkan banyak hal, termasuk memasak. Aku masak sayur
bayam, ayam goreng lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Lalu menyajikannya di
meja makan supaya saat datang mereka yang sudah pasti lelah dan lapar bisa
langsung menyantapnya. Mereka pun datang, saat melihat aneka sajian yang
kusiapkan itu, sayangnya respon mereka tampak enggan dan bilang kalau mereka
masih kenyang karena makan di perjalanan. Hmm, aku tahu betul kalau mereka
jarang mau makan camilan apalagi makan berat saat naik kendaraan karena takut
mabuk darat, jadi tebakanku itu hanya alasan, mereka berbohong. Singkat cerita
setelah mereka pulang aku baru sadar kalau seharusnya aku masak makanan khas
Jawa Timur yang mereka kangenin, bukan malah masak sayur bayam yang sudah
sangat biasa mereka makan di desa. Juga ayam goreng apa spesialnya, akh
harusnya aku masak rawon, lontong balap atau soto, menu yang jarang mereka
nikmati di desa. Sungguh bodoh dan gak peka sekali aku saat itu. Cukup lama aku
mengutuk diri sendiri karena kesalahan tersebut. Hingga aku tersadar, hei
bukankah kamu masak menu tersebut karena itu memang menu makanan terbaikmu saat
itu?!. Iya, aku baru belajar memasak, dan menu sayur bayam dan ayam goreng
adalah menu yang selalu habis dan favorit bagi suami dan anakku saat itu. Lalu
aku ingin juga menyajikannya untuk orang tuaku. Membeli bayam dan ayam yang
masih segar, memasaknya dengan antusias, membumbuinya dengan hati-hati,
menyajikannya dengan penuh harap mereka suka dan makan dengan lahap masakanku. Momen
langka bisa memasak untuk mereka sudah kulakukan dengan usaha terbaikku saat
itu. Lalu mengapa aku harus dan terus mengutuki diri atas ‘kesalahan’ tersebut.
Jika dipikirkan dan kembali ke masa lalu, banyak sekali kejadian dan keputusan
yang sekarang bernilai kesalahan dan kebodohan, tapi saat itu adalah usaha
terbaik atau keputusan yang sudah dipikirkan betul-betul, begitulah versi
terbaiknya. Sama seperti halnya menyesali pernah ikut organisasi dakwah saat
SMA, menyesali kebodohan kuliah di almamaterku, menyesali memilih dan
berganti-ganti pekerjaan, menyesali kebodohanku pacaran dengan mantanku, menyesali
kesalahanku kenapa gak kirim uang lebih sering dan lebih banyak ke orang tua
saat sudah bekerja dulu, dan banyak lagi aneka penyesalan lainnya sebagai bahan
untuk mengutuk diri sendiri. Semua itu lahir dari pertimbangan situasi dan
kondiri terbaik saat itu. Bahkan jika itu memang benar-benar sebuah kesalahan
kebodohan atas kurangnya pengetahuan, minimnya pengalaman, labilnya emosi dan
gejolak remaja, itu tetap membuahkan hikmah pembelajaran yang berguna untuk
saat ini. Seperti halnya keputusan dan tindakan yang dilakukan hari ini yang
kita kira sudah benar dan sudah versi terbaik kita, tapi bisa jadi bernilai kesalahan
dan kebodohan juga di masa depan. Lalu
adakah alasan untuk mengutuk diri sendiri terus menerus?.
- 💖 Mari Berhenti Menjadi People Pleaser
Sering diajari
untuk harus bersikap baik kepada semua orang. Tapi lupa diajari bagaimana memberi batasan hubungan yang sehat dan seni
menolak. Seakan jika mengecewakan orang lain adalah sebuah kejahatan atau
menjadi orang jahat. Bahkan untuk sekedar bilang ‘tidak’ pun sulit sekali
dilakukan. Sering lebih memilih mengorbankan perasaan, waktu, tenaga juga uang
atas nama sungkan atau kasihan. Begitulah sepertinya aku hidup selama lebih
dari 30 tahun ini. Belakangan ini aku sadar dan belajar bahwa menolak itu boleh
banget. Boleh juga untuk mementingkan diri sendiri dibandingan orang lain, itu
bukan berarti egois. Lalu membuat batasan yang sehat untuk interaksi dengan
orang lain. Bahkan jika hubungan itu toxic, tinggalkan saja. Sungguh hal-hal
baru bagiku, tapi ternyata berhenti jadi orang yang selalu ingin membuat orang
lain senang itu menyehatkan dan terasa ringan.
- 💖 Validasi dan Cinta Orang Lain
Aku merasa tidak
di sayang saat melakukan kesalahan. Aku merasa tidak di anggap saat tidak bisa
membantu atau berkontribusi. Merasa tidak di hargai saat tidak menghasilkan
uang. Saat aku melakukan 10 tugasku, lalu ada 1 tugas yang kurang baik atau
salah. Maka 1 kesalahan itulah yang akan terus diungkit dan di
permasalahkan. Akan selalu dicari yang
kurang yang salah daripada melihat dan menghargai yang sudah kulakukan. Rasanya
seperti dibesarkan dengan cinta yang bersyarat. Semua itu membuatku jadi takut
membuat kesalahan, berusaha mengejar kesempurnaan, aku harus terlihat sebagai
pribadi yang baik kuat sempurna, anak yang baik, berbakti dan tidak pernah
mempermalukan orang tuanya, ibu yang baik dalam membesarkan anak dan mengurus
rumah juga berpenghasilan, istri yang baik dan sempurna, menantu yang baik,
kakak yang baik, ipar yang baik, tetangga yang baik, semua agar
dilihat-dihargai-disayang. Jujur, ini sungguh melelahkan, dan akhirnya aku
menyerah. Sulit sekali membuat semua orang mencitai kita. Lalu akhir-akhir ini
aku belajar melepaskan diri dari pengakuan dan cinta bersyarat orang lain.
Sepertinya tak apa-apa untuk tidak terlihat, tidak di anggap, tidak dihargai,
di anggap buruk atau kurang oleh orang lain. Entah melakukan usaha terbaik atau
membuat kesalahan dan kurang sempurna, mari menjadi orang pertama dan nomor
satu yang menghargai memberi apresiasi pada usaha dan pengorbanan diri sendiri.
Bahkan jika menjadi satu-satunya yang melakukannya, mari bersikap hormat dan tulus
pada diri sendiri. Saat cinta di luar sana sulit dan bersyarat, setidaknya ada
satu tempat aman untuk pulang, yang tulus sepenuh hati menyayangi dan
menghargai setiap usaha dan langkah tak terlihat, yaitu diri sendiri.
- 💖 Aku Berharga dan Berhak Mendapatkan yang
Terbaik dan Hal-Hal Baik
Aku punya
kebiasaan baru setelah menjadi ibu, saat mengupas buah seperti buah
mangga, bagian terbaik buahnya
kusisihkan untuk anakku, lalu bagian bijinya yang aku makan. Makan pinggiran
roti tawar, dan bagian tengahnya untuk
anakku. Memakan sisa makanan yang tidak dihabiskan anakku. Tiap belanja bulanan, aku gak ragu membeli
barang untuk keperluan anakku. Tapi berpikir berulang-ulang jika itu untuk
keperluanku, sampai berakhir seringnya tidak jadi beli. Asal anakku sudah
kenyang, gak apa-apa aku menahan lapar demi menyuapinya dulu. Asal anakku sudah
mandi wangi bersih, gak apa-apa aku masih kucel belum mandi. Aku pikir itulah
caraku memberikan yang terbaik untuk anakku. Ternyata aku salah, seperti
analogi saat pesawat mengalami turbulence, yang pertama harus diberi
alat bantu pernafasan adalah diri sendiri dulu agar bisa memberi anak atau
orang terkasih lainnya bantuan. Jika ingin menyelamatkan orang lain,
prasyaratnya diri sendiri dulu harus selamat agar mampu melakukannya. Perlahan
aku pun merawat diriku, tak lagi makan makanan sisa, mendahulukan perutku
kenyang, mandi dan berdandan. Aku membeli keperluanku tanpa rasa bersalah, juga memberikan sebisa
mungkin waktu dan kesempatan yang cukup untuk menjaga tubuh dan mentalku tetap
sehat. Anakku sangat berharga, dan akupun juga sama berharganya.
- 💖 Mendorong Maju dan Berwelas Asih
Sejujurnya aku
pun masih bingung kapan harus mendorong diri sendiri kapan harus berwelas asih.
Sesederhana gak tahu kapan harus membuat tubuh melakukan hal-hal produktif dan
kapan harus membiarkannya istrirahat tanpa rasa bersalah. Apalagi di tengah kondisi
depresi yang salah satu gejalanya adalah low mood yang menetap lama. Rasanya
tiap hari berperang dengan diri sendiri untuk sekadar melakukan aktivitas
sederhana seperti bangun dari tidur, mandi, memasak, dst. Rasanya energiku
sedikit sekali atau cepat habis dan ingin terus lari dari menghadapi kenyataan
sehari-hari dengan tidur. Saat orang lain bisa pamer pencapaiannya adalah prestasi
kerja, uang dan karya yang banyak
manfaat. Sedangkan pencapaianku adalah bangun lebih pagi dari kemarin, masak
menu baru, selesaikan cucian baju yang menumpuk, atau bebersih rumah hari ini. Jangan
ditanya seberapa sering aku mengutuk diri sendiri karena ini, merasa sangat
bodoh, merasa tak berguna, merasa sepele, dan merasa ingin menghilang saja. Sulit
sekali menelan mentah-mentah nasihat psikiaterku, ‘You are matter, Restu’.
Beruntungnya, aku punya alasan untuk tetap hidup, tetap bangun, dan beraktivitas,
yaitu anakku. Ia harus pergi ke sekolah tanpa telat, ia harus sarapan dulu, ia
harus makan makanan sehat, ia harus mandi dan rapi untuk berangkat, nanti aku
harus menjemputnya tepat waktu supaya dia tidak merajuk, ia harus makan tepat
waktu, tidur siang, tak lupa mengajaknya bermain dan banyak berceloteh. Dia yang
senang saat aku bangunkan dengan menggelitiknya, ia yang selalu bilang masakan
buatanku paling enak, raut mukanya yang ceria saat melihatku menjemputnya
sekolah, yang bahagia saat bersepeda bersama di pinggir sawah, ia yang selalu
menantikan aku membacaakan buku sebelum tidur, ia yang selalu antusias saat bercerita
banyak hal. Ia juga yang sering berceloteh bahwa ia sangat menyanyangiku. Merasakan
cinta tulus begini membuat rasa berhargaku tumbuh dan tak lagi menyepelekan
hal-hal biasa yang ku kerjakan, karena ada yang menjadikan aku dunianya. Iya benar, aku harus hidup demi dia, hidup lebih
lama, hidup lebih sehat dan hidup dengan menjadi lebih baik. Jadi mungkin
sebaiknya aku harus berdamai dulu dengan monster depresi dalam diriku ini. Tak
lagi mengutuk diri sendiri namun tak pula memaklumi dan menjadikan alasan untuk
tidak bertumbuh. Memahaminya kembali, lebih dalam, lalu belajar menghargai setiap
langkah sebagai pencapaian diri sendiri, merayakannya tanpa membandingkan
dengan orang lain. Mungkin begitulah berwelas asih pada diri sendiri. Lalu
selangkah demi selangkan mendorongnya, memberi tantangan, memotivasinya, menuntunnya
perlahan untuk lebih baik lagi, lebih banyak lagi, lebih cepat lagi, dan lebih
hidup lagi.
- 💖Aku Manusia
Aku yang membenci
diri sendiri saat aku di masa lalu membuat keputusan yang salah, membuat malu, mengambil
langkah yang keliru, menjadi sosok yang tidak seperti yang aku targetkan, dan sampai
sekarang aku masih begitu. Mungkin aku yang demikian lupa bahwa aku manusia. Yang
bisa-boleh-dan normal saat berbuat salah, yang hari kemarin berkeyakinan A,
lalu hari ini berkeyakinan sebaliknya. Yang tahun lalu melakukan A, tapi hari
ini melakukan yang sebaliknya. Yang sekarang mencintai sesuatu yang dulu tidak
disukainya, dan bisa pula sebaliknya. Yang berubah menjadi sosok yang sedikit
banyak berbeda. Bukankah itu semua yang dinamakan bertumbuh?. Kadang kita harus
belajar lebih lagi, kadang pula harus belajar ulang, meralat apa yang kita
pelajari. Bisa juga jadi menyadari sesuatu, atau melakukan evaluasi agar tidak
mengulang kesalahan yang sama. Menjadi dewasa itu tak pernah ada batas usianya,
menjadi bijaksana itu tak pernah ada ujungnya. Mari kembali menyadari bahwa
kita adalah manusia.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar