Rabu, 28 Mei 2025

Tentang Mencintai Diri Sendiri

     Kalau tidak sedang berjuang dengan episode depresi selama hampir 3 tahun berjalan ini, mungkin aku gak akan sadar kalau sebegitu bencinya aku terhadap diri sendiri. Sebagai pasien rawat jalan poli jiwa, salah satu terapi yang harus dilakukan adalah belajar mencintai diri sendiri. Aku sempat bingung apa yang salah dengan caraku mencintai diri sendiri, atau bagaimana cara yang benar mencintai diri sendiri itu. Lalu perlahan aku tersadar bahwa selama ini aku selalu berusaha memberikan cinta dan usaha terbaikku kepada orang-orang sekitarku tapi tidak untuk diriku sendiri. Aku selalu menjadi tukang kritik nomor satu untuk diriku sendiri,  aku bisa mengapresiasi usaha orang lain dengan baik dan tulus tapi tidak atas usahaku sendiri, aku sering mengabaikan perasaan dan kepentinganku demi orang lain, juga menjadi sosok yang sangat baik, terlalu sungkan menolak atau memberi batasan dan bersikap loyal agar diterima di anggap baik dan dicintai orang lain. Aku sangat perhitungan cenderung pelit dalam hal uang jika itu untuk kebutuhanku. Aku juga sering tidak mendengarkan apa kata tubuhku. Aku pun sering mengutuk berlarut-larut kesalahan dan kebodohan yang sudah lakukan. Entah bagaimana selama ini aku hidup, jangankan mencintai, aku rasa tanpa sadar aku membenci diriku sendiri selama ini. Sikapku sungguh sangat buruk terhadap diri sendiri.

Setelah tersadar begitu, terus terang aku bingung mulai dari mana memperbaikinya. Pertanyaan bagaimana seharusnya aku mencintai diriku sendiri masih belum terjawab. Entah apa batasnya dengan manja dan menjadi egois. Entah kapan pula harus mendorong diri sendiri dan kapan harus berwelas asih terhadap diri sendiri. Tapi bagaimanapun juga mari tetap melangkah dalam ketidaktahuan ini. Bukankah sudah menyadari saja merupakan sebuah langkah kemajuan, bukan?. Jadi mari terus berproses belajar mencintai diri sendiri. Berikut buah dari banyak perenungan dan self talk dalam perjalanan mencintai diri sendiri selama ini.



-          💖Tentang Mengutuk Kesalahan dan Kebodohan Diri Sendiri

Setelah berumahtangga aku dan orang tuaku tinggal terpisah jarak 740 kilometer jauhnya. Aku tinggal di kota cukup besar di Jawa Timur, sedangkan mereka tinggal di desa kecil di Jawa Barat. Suatu hari mereka datang mengunjungiku. Demi menyambut kedatangan mereka aku menyiapkan banyak hal, termasuk memasak. Aku masak sayur bayam, ayam goreng lengkap dengan sambal dan kerupuknya. Lalu menyajikannya di meja makan supaya saat datang mereka yang sudah pasti lelah dan lapar bisa langsung menyantapnya. Mereka pun datang, saat melihat aneka sajian yang kusiapkan itu, sayangnya respon mereka tampak enggan dan bilang kalau mereka masih kenyang karena makan di perjalanan. Hmm, aku tahu betul kalau mereka jarang mau makan camilan apalagi makan berat saat naik kendaraan karena takut mabuk darat, jadi tebakanku itu hanya alasan, mereka berbohong. Singkat cerita setelah mereka pulang aku baru sadar kalau seharusnya aku masak makanan khas Jawa Timur yang mereka kangenin, bukan malah masak sayur bayam yang sudah sangat biasa mereka makan di desa. Juga ayam goreng apa spesialnya, akh harusnya aku masak rawon, lontong balap atau soto, menu yang jarang mereka nikmati di desa. Sungguh bodoh dan gak peka sekali aku saat itu. Cukup lama aku mengutuk diri sendiri karena kesalahan tersebut. Hingga aku tersadar, hei bukankah kamu masak menu tersebut karena itu memang menu makanan terbaikmu saat itu?!. Iya, aku baru belajar memasak, dan menu sayur bayam dan ayam goreng adalah menu yang selalu habis dan favorit bagi suami dan anakku saat itu. Lalu aku ingin juga menyajikannya untuk orang tuaku. Membeli bayam dan ayam yang masih segar, memasaknya dengan antusias, membumbuinya dengan hati-hati, menyajikannya dengan penuh harap mereka suka dan makan dengan lahap masakanku. Momen langka bisa memasak untuk mereka sudah kulakukan dengan usaha terbaikku saat itu. Lalu mengapa aku harus dan terus mengutuki diri atas ‘kesalahan’ tersebut. Jika dipikirkan dan kembali ke masa lalu, banyak sekali kejadian dan keputusan yang sekarang bernilai kesalahan dan kebodohan, tapi saat itu adalah usaha terbaik atau keputusan yang sudah dipikirkan betul-betul, begitulah versi terbaiknya. Sama seperti halnya menyesali pernah ikut organisasi dakwah saat SMA, menyesali kebodohan kuliah di almamaterku, menyesali memilih dan berganti-ganti pekerjaan, menyesali kebodohanku pacaran dengan mantanku, menyesali kesalahanku kenapa gak kirim uang lebih sering dan lebih banyak ke orang tua saat sudah bekerja dulu, dan banyak lagi aneka penyesalan lainnya sebagai bahan untuk mengutuk diri sendiri. Semua itu lahir dari pertimbangan situasi dan kondiri terbaik saat itu. Bahkan jika itu memang benar-benar sebuah kesalahan kebodohan atas kurangnya pengetahuan, minimnya pengalaman, labilnya emosi dan gejolak remaja, itu tetap membuahkan hikmah pembelajaran yang berguna untuk saat ini. Seperti halnya keputusan dan tindakan yang dilakukan hari ini yang kita kira sudah benar dan sudah versi terbaik kita, tapi bisa jadi bernilai kesalahan dan kebodohan juga di masa depan.  Lalu adakah alasan untuk mengutuk diri sendiri terus menerus?.

 

-          💖 Mari Berhenti Menjadi People Pleaser

Sering diajari untuk harus bersikap baik kepada semua orang. Tapi lupa diajari bagaimana  memberi batasan hubungan yang sehat dan seni menolak. Seakan jika mengecewakan orang lain adalah sebuah kejahatan atau menjadi orang jahat. Bahkan untuk sekedar bilang ‘tidak’ pun sulit sekali dilakukan. Sering lebih memilih mengorbankan perasaan, waktu, tenaga juga uang atas nama sungkan atau kasihan. Begitulah sepertinya aku hidup selama lebih dari 30 tahun ini. Belakangan ini aku sadar dan belajar bahwa menolak itu boleh banget. Boleh juga untuk mementingkan diri sendiri dibandingan orang lain, itu bukan berarti egois. Lalu membuat batasan yang sehat untuk interaksi dengan orang lain. Bahkan jika hubungan itu toxic, tinggalkan saja. Sungguh hal-hal baru bagiku, tapi ternyata berhenti jadi orang yang selalu ingin membuat orang lain senang itu menyehatkan dan terasa ringan.

 

-        💖  Validasi dan Cinta Orang Lain

Aku merasa tidak di sayang saat melakukan kesalahan. Aku merasa tidak di anggap saat tidak bisa membantu atau berkontribusi. Merasa tidak di hargai saat tidak menghasilkan uang. Saat aku melakukan 10 tugasku, lalu ada 1 tugas yang kurang baik atau salah. Maka 1 kesalahan itulah yang akan terus diungkit dan di permasalahkan.  Akan selalu dicari yang kurang yang salah daripada melihat dan menghargai yang sudah kulakukan. Rasanya seperti dibesarkan dengan cinta yang bersyarat. Semua itu membuatku jadi takut membuat kesalahan, berusaha mengejar kesempurnaan, aku harus terlihat sebagai pribadi yang baik kuat sempurna, anak yang baik, berbakti dan tidak pernah mempermalukan orang tuanya, ibu yang baik dalam membesarkan anak dan mengurus rumah juga berpenghasilan, istri yang baik dan sempurna, menantu yang baik, kakak yang baik, ipar yang baik, tetangga yang baik, semua agar dilihat-dihargai-disayang. Jujur, ini sungguh melelahkan, dan akhirnya aku menyerah. Sulit sekali membuat semua orang mencitai kita. Lalu akhir-akhir ini aku belajar melepaskan diri dari pengakuan dan cinta bersyarat orang lain. Sepertinya tak apa-apa untuk tidak terlihat, tidak di anggap, tidak dihargai, di anggap buruk atau kurang oleh orang lain. Entah melakukan usaha terbaik atau membuat kesalahan dan kurang sempurna, mari menjadi orang pertama dan nomor satu yang menghargai memberi apresiasi pada usaha dan pengorbanan diri sendiri. Bahkan jika menjadi satu-satunya yang melakukannya, mari bersikap hormat dan tulus pada diri sendiri. Saat cinta di luar sana sulit dan bersyarat, setidaknya ada satu tempat aman untuk pulang, yang tulus sepenuh hati menyayangi dan menghargai setiap usaha dan langkah tak terlihat, yaitu diri sendiri.

 

-         💖 Aku Berharga dan Berhak Mendapatkan yang Terbaik dan Hal-Hal Baik

Aku punya kebiasaan baru setelah menjadi ibu, saat mengupas buah seperti buah mangga,  bagian terbaik buahnya kusisihkan untuk anakku, lalu bagian bijinya yang aku makan. Makan pinggiran roti tawar,  dan bagian tengahnya untuk anakku. Memakan sisa makanan yang tidak dihabiskan anakku.  Tiap belanja bulanan, aku gak ragu membeli barang untuk keperluan anakku. Tapi berpikir berulang-ulang jika itu untuk keperluanku, sampai berakhir seringnya tidak jadi beli. Asal anakku sudah kenyang, gak apa-apa aku menahan lapar demi menyuapinya dulu. Asal anakku sudah mandi wangi bersih, gak apa-apa aku masih kucel belum mandi. Aku pikir itulah caraku memberikan yang terbaik untuk anakku. Ternyata aku salah, seperti analogi saat pesawat mengalami turbulence, yang pertama harus diberi alat bantu pernafasan adalah diri sendiri dulu agar bisa memberi anak atau orang terkasih lainnya bantuan. Jika ingin menyelamatkan orang lain, prasyaratnya diri sendiri dulu harus selamat agar mampu melakukannya. Perlahan aku pun merawat diriku, tak lagi makan makanan sisa, mendahulukan perutku kenyang, mandi dan berdandan. Aku membeli keperluanku  tanpa rasa bersalah, juga memberikan sebisa mungkin waktu dan kesempatan yang cukup untuk menjaga tubuh dan mentalku tetap sehat. Anakku sangat berharga, dan akupun juga sama berharganya.

 

-         💖 Mendorong Maju dan Berwelas Asih

Sejujurnya aku pun masih bingung kapan harus mendorong diri sendiri kapan harus berwelas asih. Sesederhana gak tahu kapan harus membuat tubuh melakukan hal-hal produktif dan kapan harus membiarkannya istrirahat tanpa rasa bersalah. Apalagi di tengah kondisi depresi yang salah satu gejalanya adalah low mood yang menetap lama. Rasanya tiap hari berperang dengan diri sendiri untuk sekadar melakukan aktivitas sederhana seperti bangun dari tidur, mandi, memasak, dst. Rasanya energiku sedikit sekali atau cepat habis dan ingin terus lari dari menghadapi kenyataan sehari-hari dengan tidur. Saat orang lain bisa pamer pencapaiannya adalah prestasi kerja, uang  dan karya yang banyak manfaat. Sedangkan pencapaianku adalah bangun lebih pagi dari kemarin, masak menu baru, selesaikan cucian baju yang menumpuk, atau bebersih rumah hari ini. Jangan ditanya seberapa sering aku mengutuk diri sendiri karena ini, merasa sangat bodoh, merasa tak berguna, merasa sepele, dan merasa ingin menghilang saja. Sulit sekali menelan mentah-mentah nasihat psikiaterku, ‘You are matter, Restu’. Beruntungnya, aku punya alasan untuk tetap hidup, tetap bangun, dan beraktivitas, yaitu anakku. Ia harus pergi ke sekolah tanpa telat, ia harus sarapan dulu, ia harus makan makanan sehat, ia harus mandi dan rapi untuk berangkat, nanti aku harus menjemputnya tepat waktu supaya dia tidak merajuk, ia harus makan tepat waktu, tidur siang, tak lupa mengajaknya bermain dan banyak berceloteh. Dia yang senang saat aku bangunkan dengan menggelitiknya, ia yang selalu bilang masakan buatanku paling enak, raut mukanya yang ceria saat melihatku menjemputnya sekolah, yang bahagia saat bersepeda bersama di pinggir sawah, ia yang selalu menantikan aku membacaakan buku sebelum tidur, ia yang selalu antusias saat bercerita banyak hal. Ia juga yang sering berceloteh bahwa ia sangat menyanyangiku. Merasakan cinta tulus begini membuat rasa berhargaku tumbuh dan tak lagi menyepelekan hal-hal biasa yang ku kerjakan, karena ada yang menjadikan aku dunianya.  Iya benar, aku harus hidup demi dia, hidup lebih lama, hidup lebih sehat dan hidup dengan menjadi lebih baik. Jadi mungkin sebaiknya aku harus berdamai dulu dengan monster depresi dalam diriku ini. Tak lagi mengutuk diri sendiri namun tak pula memaklumi dan menjadikan alasan untuk tidak bertumbuh. Memahaminya kembali, lebih dalam, lalu belajar menghargai setiap langkah sebagai pencapaian diri sendiri, merayakannya tanpa membandingkan dengan orang lain. Mungkin begitulah berwelas asih pada diri sendiri. Lalu selangkah demi selangkan mendorongnya, memberi tantangan, memotivasinya, menuntunnya perlahan untuk lebih baik lagi, lebih banyak lagi, lebih cepat lagi, dan lebih hidup lagi.

 

-          💖Aku Manusia

Aku yang membenci diri sendiri saat aku di masa lalu membuat keputusan yang salah, membuat malu, mengambil langkah yang keliru, menjadi sosok yang tidak seperti yang aku targetkan, dan sampai sekarang aku masih begitu. Mungkin aku yang demikian lupa bahwa aku manusia. Yang bisa-boleh-dan normal saat berbuat salah, yang hari kemarin berkeyakinan A, lalu hari ini berkeyakinan sebaliknya. Yang tahun lalu melakukan A, tapi hari ini melakukan yang sebaliknya. Yang sekarang mencintai sesuatu yang dulu tidak disukainya, dan bisa pula sebaliknya. Yang berubah menjadi sosok yang sedikit banyak berbeda. Bukankah itu semua yang dinamakan bertumbuh?. Kadang kita harus belajar lebih lagi, kadang pula harus belajar ulang, meralat apa yang kita pelajari. Bisa juga jadi menyadari sesuatu, atau melakukan evaluasi agar tidak mengulang kesalahan yang sama. Menjadi dewasa itu tak pernah ada batas usianya, menjadi bijaksana itu tak pernah ada ujungnya. Mari kembali menyadari bahwa kita adalah manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar