Sebuah Skenario
Akhir-akhir ini aku sepertinya sedikit “gila” karena tiba-tiba jadi sering melamun. Santai sebentar melamun, mau tidur melamun, bangun tidur pun melamun. Anehnya bukan melamun yang tak tentu arah, tapi seperti membuat cerita sendiri yang aku ada di dalamnya. Dalam ceritaku, rumah dan toko pindah ke pemukiman dekat sekolah SD anakku. Aku dapat giveaway berupa $50.000 dari @mrbeast atau dari @airrack atau @daviddobrik atau dari @dudeperfect. Jumlah yang sangat cukup untuk membeli satu rumah sederhana, membayari biaya pendidikan anakku sampai ia lulus SD, untuk dana darurat, sedikit investasi dan jadi tambahan modal untuk mengembangkan toko kecil kami. Suamiku resign dari kerjaan “ngukur jalan”-nya yang sekarang dan fokus mengurus toko listrik kami. Toko pindah ke lokasi yang lebih strategis dan dengan tambahan modal produknya bisa lebih variatif dan lengkap. Untuk rumah, aku sampai menggambar denahnya, membayangkan akan seperti tata letaknya yang begitu teratur, kamar anakku yang penuh barang lucu, dapur yang sederhana namun lengkap, ada tempat khusus untuk sholat berjamaah, ada sofa dan karpet di ruang tamu yang jadi tempat berkumpul, juga ada teras yang luas untuk tempat olahraga, bermain sepeda dan bersantai. Secara tidak sengaja dalam kehidupan nyata memang ada satu gang di dekat sekolah SD anakku kelak dimana lingkungan tersebut strategis, dekat dengan RS, pasar, apotik, dan di kelilingi penjual makanan, juga saat lewat sana aku lihat ada satu rumah dan satu toko yang berseberangan dan sama-sama disewakan. Perasaan dan bayangan ingin pindah ke sana pun makin kuat dan menjadi-jadi. Membayangkan tak perlu lagi berangkat terburu-buru mengantar anakku sekolah SD nantinya sungguh sangat menyenangkan. Di samping kanan dan kirinya ada salon, warteg, warung kelontong, tempat senam. Di ujung jalan ada minimarket, seberangnya ada RS, dekat dengan pasar, stasiun, toko roti, apotik, dan dikelilingi banyak penjual makanan. Sepertinya lingkungannya pun tipikal yang moderat tapi masih ada suasana guyubnya. Sungguh sempurna, bukan!?.
Tak cukup sampai situ, aku pun membayangkan akan seperti apa rutinitas kegiatannya setelah pindah kesana. Bangun jam 4 subuh, Sholat Tahajud, meditasi, lalu masak yang harus selesai sebelum pukul 5, karena akan sholat subuh berjamaah, lanjut mengaji bersama, dan olahraga di depan rumah sampai pukul 6. Baru setelah itu sarapan, mandi, siap-siap dan berangkat ke Sekolah dan buka toko. Sedangkan aku beres-beres rumah, me time, sesekali pergi ke pasar, kadang jadwal ke salon, kadang ikut kelas zumba, dst. Ada hari-hari dimana aku ikut berbagai pelatihan secara bergantian. Pelatihan hypnotherapy, access bar, singing bowl, TAT, human design, money therapy dan banyak lagi. Juga ada jam-jam fokus dimana aku juga produktif menghasilkan sesuatu dan menghasilkan uang tambahan juga. Sedangkan toko dijaga suamiku sedari pagi hingga pukul 8 malam, dengan istrirahat bergantian dengan pegawainya Sepulang sekolah makan lanjut tidur siang. Sore harinya adalah jam bebas untuk bermain, ikut les, screen time, dll. Setelah sholat maghrib, lanjut belajar 1 jam, dilanjutkan dengan membaca, menulis jurnal dan menyiapkan kebutuhan untuk besok. Jam 8 malam semua selesai dan siap-siap tidur. Sungguh gambaran rutinitas yang sempurna.
Tak lupa aku menyusun agenda dan kejadian yang harus terjadi. Akhir tahun dapat hadiah giveaway tadi, langsung diskusi alokasi uang. Kirim uang untuk orang tuaku untuk melunasi hutang mereka sekalian titip uang untuk sedekah. Tak lupa kirim juga untuk mertua yang juga sedang butuh uang banyak untuk biaya nikah adek bungsu suami. Jadi agenda gathering kantor suami yang rutin di adakan setiap akhir tahun kami sekeluarga tetap ikut sekaligus pamit karena setelah ini akan resign. Awal tahun 2026 fokus mencari lokasi toko dan rumah baru, lalu sebelum puasa sudah pindahan semua supaya bisa ibadah Ramadhan dengan serba baru. Lebaran mudik ke kampung orang tua, sambil belikan motor baru untuk bapak dan kalung emas untuk mama. April pas wisuda adikku, kami semua kembali berkumpul di Solo sambal liburan keliling kota Jogya, ke Candi Borobudur, wisata pantai, menginap di hotel bagus, dan puas mencicipi aneka makanan yang jarang bisa dinikmati mama dan bapak selama ini. Lalu Mei dan Juni sibuk dengan acara perpisahan TK dan persiapan masuk SD. Hingga akhir tahun sama-sama beradaptasi aneka hal baru ini. Barulah tahun depan mulai program anak kedua. Oh sebelum itu harus operasi cabut gigi bungsu yang selama ini harus dicabut tapi aku tunda-tunda karena takut. Nanti anak keduanya laki-laki, jadi lengkap sudah kami punya anak sepasang, dan selebihnya hidup kami berempat berjalan dengan bahagia. Tamat.
Melihat dari seberapa detailnya khayalan tersebut, sepertinya aku punya sedikit bakat dalam membuat cerpen, novel atau skenario film. Hahahaa~bercanda. Kini saatnya kembali menapak hingga perlahan aku baru sadar bahwa aku sedang melarikan diri dari kenyataan. Aku sedang tidak nyaman dengan realitasku saat ini, dan aku memilih kabur darinya lewat khayalan tadi. Aku merasa gak nyaman dengan rumah kontrakanku sekarang yang gak ada atap plafonnya. Saat hujan airnya rembes masuk dan basah sudah seisi rumah. Lokasinya pun selain jauh dari sekolah SD anakku kelak, juga memang jauh dari pasar, apotik, penjual makanan, dll. Isi rumah pun masih sangat minimalis, jadi banyak sekali perabot rumah yang aku idamkan tapi belum kesampaian. Sejujurnya juga, aku agak minder dengan status rumah yang masih ngontrak. Entah kapan bisa punya rumah atas nama sendiri. Sedangkan omzet toko akhir-akhir ini lagi sepi, beberapa hari malah zonk gak ada omzet sama sekali. Kata suamiku memang kondisi ekonomi masyarakat sedang turun, tapi aku tetap penasaran andai saja kalau lokasi toko kita tidak terlalu jauh dari pusat keramaian dan posisinya tidak menjorok seperti sekarang, apa mungkin omzet toko akan tetap sepi seperti sekarang. Aku pun merasa bersalah karena masih belum berpenghasilan sendiri sehingga terbatas membantu orang tuaku. Rasanya aku belum bisa membahagiakan mereka, sedangkan aku berlomba dengan umur mereka yang kian menua. Ini sudah tahun ke-2 aku gak bisa mudik untuk bertemu mereka karena keterbatasan biaya. Sedangkan lebaran mendatang kurang dari 5 bulan lagi. Aku sedih dan takut gak bisa mudik lagi karena memang pas sekali moment nya dengan daftar sekolah SD anakku, yang butuh biaya tidak sedikit untuk uang pangkalnya.
Rasanya aku butuh keajaiban dalam hal uang, karena sepertinya sulit hanya mengandalkan uang gaji suami dan omzet toko. Apalagi kami memulai toko dengan modal minus, alias berhutang. Jadi tiap bulan ada cicilan yang harus kami bayarkan. Aku kasihan melihat suamiku yang sudah bekerja sangat keras untuk kami. Ia harus keliling dari satu toko listrik ke toko listrik lainnya di 3 kota berbeda setiap harinya. Bukan hanya berat di fisik tapi juga psikis pun cukup membuat stress karena tekanan target yang harus dicapai. Pelarian stresnya adalah rokok dan nongkrong di warkop bersama teman-temannya, bermain PS, bermain billyard, atau sekadar ngobrol ngalor ngidul sampai tengah malam. Dan semua itu cukup membuatku frustasi, sisi lain aku sadar bahwa itu bentuk refreshing dia, sisi lain aku dan anak kami harus kehilangan waktu bersamanya, karena hanya sempat bertemu saat pagi mau berangkat sekolah saja. Otomatis gak bisa membantu pekerjaan rumah, gak sempat membersamai anak bermain, gak ada quality time berdua, dst. Tapi lebih dari itu sebenarnya aku cemas, takut terjadi apa-apa di jalan, apalagi kalau sudah larut malam masih di perjalanan. Takut dia sakit, gaya hidup nya selama ini kurang baik, olahraga jarang sekali, eh malah kecanduan rokok, belum lagi minum kopi bergelas-gelas tiap hari, dan ketambahan kurang istirahat begini. Aku takut dia kenapa-napa, sedangkan aku belum bisa menghasilkan uang, belum bisa beli asuransi, belum banyak yang bisa kami wariskan bagi anak, yang ada malah warisan hutang, dan tentu saja mana sanggup aku menjalani hidup tanpa dia sebagai “rumaku” selama ini. Terakhir, aku takut hamil dan punya anak lagi. Anak pertamaku sudah 6 tahun dan sering bertanya kapan ia punya adik, suamiku juga sebetulnya mendorongku untuk program hamil saja karena jarak dengan anak pertama sudah ideal dan tahu bahwa hamil diatas usia 35 tahun cukup beresiko, jadi kalau bisa sebelum itu saja program hamilnya. Aku sebetulnya sepakat, tapi mengingat aku kena depresi yang berawal dari baby blues, hmmm rasanya aku ragu dan takut mengulanginya lagi. Membayangkan setiap hari harus antar jemput anak sekolah yang lumayan jauh dari rumah, sedangkan masih punya bayi kecil yang mau gak mau ikut jemput kakaknya, karena gak ada orang lain lagi yang bisa jagain. Pagi harus buka toko meskipun semalaman begadang urus newborn, sore malam juga toko harus buka supaya ada tambahan pemasukan. Belum lagi urusan domestik rumah yang selama ini banyak dikerjakan sendirian, juga masak pagi 2x sehari. Kapan aku bisa punya karya sendiri dan bisa bebas me time seperti sekarang. Cukup dengan membayangkan saja rasanya sudah baby blues lagi.
Aku pun masuk ke dalam khayalanku sendiri dimana rasanya semua skenario di dialamnya membuat aku merasa aman, nyaman, bebas sehingga aku bisa bahagia. Aku belum bisa menerima apa adanya realitas yang ada di hadapanku saat ini. Aku ingin mengubahnya semuanya secara instan dengan cara pergi ke dunia khayalan tersebut. Aku sedang lari dari realitasku. Sungguh sebuah sikap pengecut yang memalukan dan tidak untuk ditiru. Syukurlah kesadaran itu perlahan datang kepadaku. Dan serangkaian proses grounding dan belajar mindful pun berbuah pemikiran seperti berikut :
- Sadarlah, Kamu Bukan Tuhan!
Ternyata tanpa sadar aku sudah bersikap seolah-olah aku punya kuasa atas rejekiku sendiri. Rejeki harta benda, rejeki kesehatan, rejeki anak, rejeki keselamatan, rejeki umur, rejeki keluarga, dst. Aku membuat skenario dalam khayalanku tadi seolah-olah bulan ini harus dapat ini, bulan depan harus dapat itu, harus begini harus begitu. Astaghfirullah hal adzim, siapakah aku berhak mengatur semua itu?
- Prasyarat Bahagia
Saat aku pikir lagi, mengapa aku harus punya uang $50.000 dulu seperti dalam skenario khayalanku tadi baru aku bisa merasa hidupku aman? Mengapa harus punya perabot lengkap dan rumah yang tertata estetik dulu baru bisa nyaman? Mengapa harus punya banyak uang dulu baru sepertinya bisa berbakti ke orang tua? Mengapa harus punya suami yang bekerja dekat rumah dulu baru bisa senang? Mengapa harus punya rumah atas nama sendiri dulu baru bisa percaya diri bersosialisasi? Mengapa menunggu lebih banyak waktu luang dan ideal dulu baru bisa berolahraga, belajar mengembangkan diri dan produktif berkarya? Mengapa semua harus ideal dulu baru bisa bersyukur? Dan mengapa harus punya segalanya dulu baru bisa dan boleh bahagia?
Sepertinya aku sendiri yang membuat prasyarat bahagia sedemikian rumitnya. Bukankah kita bisa berbahagia dengan lebih menghargai hal-hal sederhana dan menikmati setiap momen kecil saat ini. Tanpa perlu melihat ke yang lebih bawah, tanpa perlu membandingkan diri pun ternyata sudah banyak hal yang bisa syukuri. Rasa aman dan tenang itu diciptakan, bukan dicari. Ia lahir dari dalam diri bukan didapatkan dari luar. Kepercayaan diri dan kebermanfaatan untuk orang lain pun itu sesuatu yang terus dilatih. Juga sepertinya tak perlu terobsesi memperbaiki diri supaya ideal, karena rasanya akan seperti kita sedang rusak, ada yang salah, ada yang kurang, gak sempurna. Sebaliknya, kita harus terlebih dahulu belajar penerimaan diri, tanpa memadamkan semangat menjadi seorang yang terus belajar.
Terdengar mudah, tapi cukup sulit saat melakukannya. Maka yang kulakukan adalah melihat dari POV yang berbeda dan menurunkan standart berbagai prasyarat bahagia tersebut. Meski belum pernah pegang uang senilai $50.000, setidaknya aku berkah merasa aman karena setiap hari selalu pegang dan dapat uang asal buka toko. Berkah senang karena selalu bisa makan nasi dan lauk pauk layak bergizi setiap hari, bahkan bisa beli jajan. Berhak tenang juga dengan alasan suami punya pekerjaan tetap dan tetap sehat meski pekerjaannya cukup berat. Punya tempat untuk tinggal bertiga, gak numpang dirumah orang tua atau mertua. Meski tanpa punya tabungan, tapi bisa bayar SPP sekolah anak tanpa nunggak, bisa bayar cicilan hutang tiap bulan dan ada cukup untuk kebutuhan tiap bulan, bahkan bisa sesekali refreshing keluar. Meski belum punya karya dan penghasilan sendiri, setidaknya sementara ini bisa jadi penjaga tokonya suami. Dan yang paling penting adalah masih punya kesempatan, berupa badan yang sehat, keluarga yang lengkap, waktu luang, fasilitas yang bisa di dayagunakan, dan kesadaran untuk bertumbuh lebih baik. Bukankan semua ini boleh jadi alasan untuk merasa aman, nyaman dan bahagia.
- Bisa Jadi Skenario Tuhan Lebih Baik Untukmu
Seharusnya aku sadar lebih awal bahwa ada campur tangan Tuhan dalam setiap langkah dan lembaran hidupku. Membuat khayalan bahwa aku harus dapat ini dapat itu, bulan ini harus terjadi ini itu, tahun ini harus begini begitu, dst rasanya seperti aku tengah mendikte Tuhan. Padahal Tuhan-lah yang Maha Kuasa atas segala rejekiku. Ia bisa kapan saja mencabut rejeki umurku, bisa mengambil kembali kapan saja titipanNya berupa anak, bisa kapan saja memanggil suami atua orangtuaku kembali padaNya. Ia bisa saja memberikan jackpot uang kaget lewat menang giveaway seperti dalam khayalanku tapi bisa juga uang $50.000 yang ku impikan bisa jadi tetap bisa kuperoleh dari hasil toko atau usaha sampingan yang aku usahakan. Bisa jadi rumah masa depanku kelak bukan seseuai gambar denah yang aku buat. Bisa jadi pegang sertifikat rumah atas nama sendiri bukan tahun ini, tapi tahun depan atau beberapa tahun lagi. Bisa jadi juga anakku tak akan pernah punya adik sekandung, atau bisa saja dapat adik kembar atau jarak umurnya tidak 7 tahun, tapi 10 tahun seperti aku dan adikku. Bisa jadi aku menjadi single parent dan memutuskan pindah ke kampung halaman untuk tinggal dengan orang tuaku. Atu tiba-tiba suami resign tapi dapat pekerjaan yang ditempatkan di luar kota.
Bisa jadi, semuanya bisa jadi berbeda dengan skenario buatanku. Kadang memang tidak bisa serta merta langsung dapat menerima skenario Tuhan. Wajar jika mempertanyakan dulu kenapa aku, kenapa tidak begini saja, kenapa harus terjadi, kenapa harus hari ini begini, kenapa aku gak bisa dapatkan ini, kenapa aku harus kehilangan itu, dst. Tapi jika kita melihat ke belakang yang juga berdasarkan skenario Tuhan, bukankan baru akhir-akhir ini kita dapat menyadari hikmah dan maksud baik Tuhan pada kita. Mungkin dimasa depan pun kita akan begitu, menyadari bahwa skenario Tuhan adalah bentuk kasih sayang dan perlindungannya untuk kita.
- Mengubah Realitasmu
Aku bilang semua ini bermula dari aku yang membenci realitasku, lalu aku melarikan diri dengan membenamkan diri dalam khayalan. Betul memang rasanya aku bisa lepas, bebas dan bahagia di dalamnya. Tapi itu sejenak, tapi itu semu, dan relitasku tetep tidak berubah sedikitpun. Saat terbangun, aku tetap harus menghadapi realitas yang sama, yang menyebalkan dan yang aku benci tersebut. Satu-satunya cara agar terlepas dari semua itu adalah pertama dengan menerima terlebih dahulu. Menerima sepenuhnya realitas yang ada di hadapan kita, tanpa memberontak dan melarikan diri, apapun itu rasanya. Setelah itu, yang kedua adalah bertindak. Realitasku tidak akan berubah jika aku sendiri tidak melakukan apapun untuk mengubahnya. Entah sedikit atau banyak, cepat atau perlahan, tidak apa, asalkan terus dicoba, terus dilakukan dan terus belajar. Tabunganku akan tetap nihil jika aku tidak mencari sumber pendapatan lainnya. Aku akan tetap jadi pegawai toko suami jika tidak belajar hal baru dan tidak mencoba membuat karya. Rutinitas impian hanya akan membuatku membenci diri sendiri jika tidak mulai aku lakukan secara nyata. Perabot rumah impian mungkin bisa aku dapatkan dengan mengalokasikan uang khusus dan membelinya perlahan. Rumah atas nama sendiri itu mungkin akan makin jauh dari nyata jika aku tetap dengan mindset dan kebiasaaan lamaku begini. Mungkin akulah yang harus aku ubah untuk mengubah realitasku. Jadi mari kembali menapak, menghargai masa kini, dan perlahan mengubah realitas sekarang menjadi realitas impian tersebut.






