Senin, 13 Oktober 2025

Sebuah Skenario

Oktober 13, 2025 0 Comments

     Akhir-akhir ini aku sepertinya sedikit “gila” karena tiba-tiba jadi sering melamun. Santai sebentar melamun, mau tidur melamun, bangun tidur pun melamun. Anehnya bukan melamun yang tak tentu arah, tapi seperti membuat cerita sendiri yang aku ada di dalamnya. Dalam ceritaku, rumah dan toko pindah ke pemukiman dekat sekolah SD anakku. Aku dapat giveaway berupa $50.000 dari @mrbeast atau dari @airrack atau @daviddobrik atau dari @dudeperfect. Jumlah yang sangat cukup untuk membeli satu rumah sederhana, membayari biaya pendidikan anakku sampai ia lulus SD, untuk  dana darurat, sedikit investasi dan jadi tambahan modal untuk mengembangkan toko kecil kami. Suamiku resign dari kerjaan “ngukur jalan”-nya yang sekarang dan fokus mengurus toko listrik kami. Toko pindah ke lokasi yang lebih strategis dan dengan tambahan modal produknya bisa lebih variatif dan lengkap. Untuk rumah, aku sampai menggambar denahnya, membayangkan akan seperti tata letaknya yang begitu teratur, kamar anakku yang penuh barang lucu, dapur yang sederhana namun lengkap, ada tempat khusus untuk sholat berjamaah, ada sofa dan karpet di ruang tamu yang jadi tempat berkumpul, juga ada teras yang luas untuk tempat olahraga, bermain sepeda dan bersantai. Secara tidak sengaja dalam kehidupan nyata memang ada satu gang di dekat sekolah SD anakku kelak dimana lingkungan tersebut strategis, dekat dengan RS, pasar, apotik, dan di kelilingi penjual makanan, juga saat lewat sana aku lihat ada satu rumah dan satu toko yang berseberangan dan sama-sama disewakan. Perasaan dan bayangan ingin pindah ke sana pun makin kuat dan menjadi-jadi. Membayangkan tak perlu lagi berangkat terburu-buru mengantar anakku sekolah SD nantinya sungguh sangat menyenangkan. Di samping kanan dan kirinya ada salon, warteg, warung kelontong, tempat senam. Di ujung jalan ada minimarket, seberangnya ada RS, dekat dengan pasar, stasiun, toko roti, apotik, dan dikelilingi banyak penjual makanan. Sepertinya lingkungannya pun tipikal yang moderat tapi masih ada suasana guyubnya. Sungguh sempurna, bukan!?.

    Tak cukup sampai situ, aku pun membayangkan akan seperti apa rutinitas kegiatannya setelah pindah kesana. Bangun jam 4 subuh, Sholat Tahajud, meditasi, lalu masak yang harus selesai sebelum pukul 5, karena akan sholat subuh berjamaah, lanjut mengaji bersama, dan olahraga di depan rumah sampai pukul 6. Baru setelah itu sarapan, mandi, siap-siap dan berangkat ke Sekolah dan buka toko. Sedangkan aku beres-beres rumah, me time, sesekali pergi ke pasar, kadang jadwal ke salon, kadang ikut kelas zumba, dst. Ada hari-hari dimana aku ikut berbagai pelatihan secara bergantian. Pelatihan hypnotherapy, access bar, singing bowl, TAT, human design, money therapy dan banyak lagi. Juga ada jam-jam fokus dimana aku juga produktif menghasilkan sesuatu dan menghasilkan uang tambahan juga. Sedangkan toko dijaga suamiku sedari pagi hingga pukul 8 malam, dengan istrirahat bergantian dengan pegawainya Sepulang sekolah makan lanjut tidur siang. Sore harinya adalah jam bebas untuk bermain, ikut les, screen time, dll. Setelah sholat maghrib, lanjut belajar 1 jam, dilanjutkan dengan membaca, menulis jurnal dan menyiapkan kebutuhan untuk besok. Jam 8 malam semua selesai dan siap-siap tidur. Sungguh gambaran rutinitas yang sempurna.

    Tak lupa aku menyusun agenda dan kejadian yang harus terjadi. Akhir tahun dapat hadiah giveaway tadi, langsung diskusi alokasi uang. Kirim uang untuk orang tuaku untuk melunasi hutang mereka sekalian titip uang untuk sedekah. Tak lupa kirim juga untuk mertua yang juga sedang butuh uang banyak untuk biaya nikah adek bungsu suami. Jadi agenda gathering kantor suami yang rutin di adakan setiap akhir tahun kami sekeluarga tetap ikut sekaligus  pamit karena setelah ini akan resign. Awal tahun 2026 fokus mencari lokasi toko dan rumah baru, lalu sebelum puasa sudah pindahan semua supaya bisa ibadah Ramadhan dengan serba baru. Lebaran mudik ke kampung orang tua, sambil belikan motor baru untuk bapak dan kalung emas untuk mama. April pas wisuda adikku, kami semua kembali berkumpul di Solo sambal liburan keliling kota Jogya, ke Candi Borobudur, wisata pantai, menginap di hotel bagus, dan puas mencicipi aneka makanan yang jarang bisa dinikmati mama dan bapak selama ini. Lalu Mei dan Juni sibuk dengan acara perpisahan TK dan persiapan masuk SD. Hingga akhir tahun sama-sama beradaptasi aneka hal baru ini. Barulah tahun depan mulai program anak kedua. Oh sebelum itu harus operasi cabut gigi bungsu yang selama ini harus dicabut tapi aku tunda-tunda karena takut. Nanti anak keduanya laki-laki, jadi lengkap sudah kami punya anak sepasang, dan selebihnya hidup kami berempat berjalan dengan bahagia. Tamat.

    Melihat dari seberapa detailnya khayalan tersebut, sepertinya aku punya sedikit bakat dalam membuat cerpen, novel atau skenario film. Hahahaa~bercanda. Kini saatnya kembali menapak hingga perlahan aku baru sadar bahwa aku sedang melarikan diri dari kenyataan. Aku sedang tidak nyaman dengan realitasku saat ini, dan aku memilih kabur darinya lewat khayalan tadi. Aku merasa gak nyaman dengan rumah kontrakanku sekarang yang gak ada atap plafonnya. Saat hujan airnya rembes masuk dan basah sudah seisi rumah. Lokasinya pun selain jauh dari sekolah SD anakku kelak, juga memang jauh dari pasar, apotik, penjual makanan, dll. Isi rumah pun masih sangat minimalis, jadi banyak sekali perabot rumah yang aku idamkan tapi belum kesampaian. Sejujurnya juga, aku agak minder dengan status rumah yang masih ngontrak. Entah kapan bisa punya rumah atas nama sendiri. Sedangkan omzet toko akhir-akhir ini lagi sepi, beberapa hari malah zonk gak ada omzet sama sekali.  Kata suamiku memang kondisi ekonomi masyarakat sedang turun, tapi aku tetap penasaran andai saja kalau lokasi toko kita tidak terlalu jauh dari pusat keramaian dan posisinya tidak menjorok seperti sekarang, apa mungkin omzet toko akan tetap sepi seperti sekarang. Aku pun merasa bersalah karena masih belum berpenghasilan sendiri sehingga terbatas membantu orang tuaku. Rasanya aku belum bisa membahagiakan mereka, sedangkan aku berlomba dengan umur mereka yang kian menua. Ini sudah tahun ke-2 aku gak bisa mudik untuk bertemu mereka karena keterbatasan biaya. Sedangkan lebaran mendatang kurang dari 5 bulan lagi. Aku sedih dan takut gak bisa mudik lagi karena memang pas sekali moment nya dengan daftar sekolah SD anakku, yang butuh biaya tidak sedikit untuk uang pangkalnya.

    Rasanya aku butuh keajaiban dalam hal uang, karena sepertinya sulit hanya mengandalkan uang gaji suami dan omzet toko. Apalagi kami memulai toko dengan modal minus, alias berhutang. Jadi tiap bulan ada cicilan yang harus kami bayarkan. Aku kasihan melihat suamiku yang sudah bekerja sangat keras untuk kami. Ia harus keliling dari satu toko listrik ke toko listrik lainnya di 3 kota berbeda setiap harinya. Bukan hanya berat di fisik tapi juga psikis pun cukup membuat stress karena tekanan target yang harus dicapai. Pelarian stresnya adalah rokok dan nongkrong di warkop bersama teman-temannya, bermain PS, bermain billyard, atau sekadar ngobrol ngalor ngidul sampai tengah malam. Dan semua itu cukup membuatku frustasi, sisi lain aku sadar bahwa itu bentuk refreshing dia, sisi lain aku dan anak kami harus kehilangan waktu bersamanya, karena hanya sempat bertemu saat pagi mau berangkat sekolah saja. Otomatis gak bisa membantu pekerjaan rumah, gak sempat membersamai anak bermain, gak ada quality time berdua, dst. Tapi lebih dari itu sebenarnya aku cemas, takut terjadi apa-apa di jalan, apalagi kalau sudah larut malam masih di perjalanan. Takut dia sakit, gaya hidup nya selama ini kurang baik, olahraga jarang sekali, eh malah kecanduan rokok, belum lagi minum kopi bergelas-gelas tiap hari, dan ketambahan kurang istirahat begini. Aku takut dia kenapa-napa, sedangkan aku belum bisa menghasilkan uang, belum bisa beli asuransi, belum banyak yang bisa kami wariskan bagi anak, yang ada malah warisan hutang, dan tentu saja mana sanggup aku menjalani hidup tanpa dia sebagai “rumaku” selama ini. Terakhir, aku takut hamil dan punya anak lagi. Anak pertamaku sudah 6 tahun dan sering bertanya kapan ia punya adik, suamiku juga sebetulnya mendorongku untuk program hamil saja karena jarak dengan anak pertama sudah ideal dan tahu bahwa hamil diatas usia 35 tahun cukup beresiko, jadi kalau bisa sebelum itu saja program hamilnya. Aku sebetulnya sepakat, tapi mengingat aku kena depresi yang berawal dari baby blues, hmmm rasanya aku ragu dan takut mengulanginya lagi. Membayangkan setiap hari harus antar jemput anak sekolah yang lumayan jauh dari rumah, sedangkan masih punya bayi kecil yang mau gak mau ikut jemput kakaknya, karena gak ada orang lain lagi yang bisa jagain. Pagi harus buka toko meskipun semalaman begadang urus newborn, sore malam juga toko harus buka supaya ada tambahan pemasukan. Belum lagi urusan domestik rumah yang selama ini banyak dikerjakan sendirian, juga  masak pagi 2x sehari. Kapan aku bisa punya karya sendiri dan bisa bebas me time seperti sekarang. Cukup dengan membayangkan saja rasanya sudah baby blues lagi.

    Aku pun masuk ke dalam khayalanku sendiri dimana rasanya semua skenario di dialamnya membuat aku merasa aman, nyaman, bebas sehingga aku bisa bahagia. Aku belum bisa menerima apa adanya realitas yang ada di hadapanku saat ini. Aku ingin mengubahnya semuanya secara instan dengan cara pergi ke dunia khayalan tersebut. Aku sedang lari dari realitasku. Sungguh sebuah sikap pengecut yang memalukan dan tidak untuk ditiru. Syukurlah kesadaran itu perlahan datang kepadaku. Dan serangkaian proses grounding dan belajar mindful pun berbuah pemikiran seperti berikut :

Dokumentasi Pribadi

Sadarlah, Kamu Bukan Tuhan!

    Ternyata tanpa sadar aku sudah bersikap seolah-olah aku punya kuasa atas rejekiku sendiri. Rejeki harta benda, rejeki kesehatan, rejeki anak, rejeki keselamatan, rejeki umur, rejeki keluarga, dst. Aku membuat skenario dalam khayalanku tadi seolah-olah bulan ini harus dapat ini, bulan depan harus dapat itu, harus begini harus begitu. Astaghfirullah hal adzim, siapakah aku berhak mengatur semua itu?

 

Prasyarat Bahagia

    Saat aku pikir lagi, mengapa aku harus punya uang $50.000 dulu seperti dalam skenario khayalanku tadi baru aku bisa merasa hidupku aman? Mengapa harus punya perabot lengkap dan rumah yang tertata estetik dulu baru bisa nyaman? Mengapa harus punya banyak uang dulu baru sepertinya bisa berbakti ke orang tua? Mengapa harus punya suami yang bekerja dekat rumah dulu baru bisa senang? Mengapa harus punya rumah atas nama sendiri dulu baru bisa percaya diri bersosialisasi? Mengapa menunggu lebih banyak waktu luang dan ideal dulu baru bisa berolahraga, belajar mengembangkan diri dan produktif berkarya? Mengapa semua harus ideal dulu baru bisa bersyukur? Dan mengapa harus punya segalanya dulu baru bisa dan boleh bahagia?

    Sepertinya aku sendiri yang membuat prasyarat bahagia sedemikian rumitnya. Bukankah kita bisa berbahagia dengan lebih menghargai hal-hal sederhana dan menikmati setiap momen kecil saat ini. Tanpa perlu melihat ke yang lebih bawah, tanpa perlu membandingkan diri pun ternyata sudah banyak hal yang bisa syukuri. Rasa aman dan tenang itu diciptakan, bukan dicari. Ia lahir dari dalam diri bukan didapatkan dari luar. Kepercayaan diri dan kebermanfaatan untuk orang lain pun itu sesuatu yang terus dilatih. Juga sepertinya tak perlu terobsesi memperbaiki diri supaya ideal, karena rasanya akan seperti kita sedang rusak, ada yang salah, ada yang kurang, gak sempurna. Sebaliknya, kita harus terlebih dahulu belajar penerimaan diri, tanpa memadamkan semangat menjadi seorang yang terus belajar.

    Terdengar mudah, tapi cukup sulit saat melakukannya. Maka yang kulakukan adalah melihat dari POV yang berbeda dan menurunkan standart berbagai prasyarat bahagia tersebut. Meski belum pernah pegang uang senilai $50.000, setidaknya aku berkah merasa aman karena setiap hari selalu pegang dan dapat uang asal buka toko. Berkah senang karena selalu bisa makan nasi dan lauk pauk layak bergizi setiap hari, bahkan bisa beli jajan. Berhak tenang juga dengan alasan suami punya pekerjaan tetap dan tetap sehat meski pekerjaannya cukup berat. Punya tempat untuk tinggal bertiga, gak numpang dirumah orang tua atau mertua. Meski tanpa punya tabungan, tapi bisa bayar SPP sekolah anak tanpa nunggak, bisa bayar cicilan hutang tiap bulan dan ada cukup untuk kebutuhan tiap bulan, bahkan bisa sesekali refreshing keluar. Meski belum punya karya dan penghasilan sendiri, setidaknya sementara ini bisa jadi penjaga tokonya suami. Dan yang paling penting adalah masih punya kesempatan, berupa badan yang sehat, keluarga yang lengkap, waktu luang, fasilitas yang bisa di dayagunakan, dan kesadaran untuk bertumbuh lebih baik.  Bukankan semua ini boleh jadi alasan untuk merasa aman, nyaman dan bahagia.

 

Bisa Jadi Skenario Tuhan Lebih Baik Untukmu

    Seharusnya aku sadar lebih awal bahwa ada campur tangan Tuhan dalam setiap langkah dan lembaran hidupku. Membuat khayalan bahwa aku harus dapat ini dapat itu, bulan ini harus terjadi ini itu, tahun ini harus begini begitu, dst rasanya seperti aku tengah mendikte Tuhan. Padahal Tuhan-lah yang Maha Kuasa atas segala rejekiku. Ia bisa kapan saja mencabut rejeki umurku, bisa mengambil kembali kapan saja titipanNya berupa anak, bisa kapan saja memanggil suami atua orangtuaku kembali padaNya. Ia bisa saja memberikan jackpot uang kaget lewat menang giveaway seperti dalam khayalanku tapi bisa juga uang $50.000 yang ku impikan bisa jadi tetap bisa kuperoleh dari hasil toko atau usaha sampingan yang aku usahakan. Bisa jadi rumah masa depanku kelak bukan seseuai gambar denah yang aku buat. Bisa jadi pegang sertifikat rumah atas nama sendiri bukan tahun ini, tapi tahun depan atau beberapa tahun lagi. Bisa jadi juga anakku tak akan pernah punya adik sekandung, atau bisa saja dapat adik kembar atau jarak umurnya tidak 7 tahun, tapi 10 tahun seperti aku dan adikku. Bisa jadi aku menjadi single parent dan memutuskan pindah ke kampung halaman untuk tinggal dengan orang tuaku. Atu tiba-tiba suami resign tapi dapat pekerjaan yang ditempatkan di luar kota.

    Bisa jadi, semuanya bisa jadi berbeda dengan skenario buatanku. Kadang memang tidak bisa serta merta langsung dapat menerima skenario Tuhan. Wajar jika mempertanyakan dulu kenapa aku, kenapa tidak begini saja,  kenapa harus terjadi, kenapa harus hari ini begini, kenapa aku gak bisa dapatkan ini, kenapa aku harus kehilangan itu, dst. Tapi jika kita melihat ke belakang yang juga berdasarkan skenario Tuhan, bukankan baru akhir-akhir ini kita dapat menyadari hikmah dan maksud baik Tuhan pada kita. Mungkin dimasa depan pun kita akan begitu, menyadari bahwa skenario Tuhan adalah bentuk kasih sayang dan perlindungannya untuk kita.

 

Mengubah Realitasmu

    Aku bilang semua ini bermula dari aku yang membenci realitasku, lalu aku melarikan diri dengan membenamkan diri dalam khayalan. Betul memang rasanya aku bisa lepas, bebas dan bahagia di dalamnya. Tapi itu sejenak, tapi itu semu, dan relitasku tetep tidak berubah sedikitpun. Saat terbangun, aku tetap  harus menghadapi realitas yang sama, yang menyebalkan dan yang aku benci tersebut. Satu-satunya cara agar terlepas dari semua itu adalah pertama dengan menerima terlebih dahulu. Menerima sepenuhnya realitas yang ada di hadapan kita, tanpa memberontak dan melarikan diri, apapun itu rasanya. Setelah itu, yang kedua adalah bertindak. Realitasku tidak akan berubah jika aku sendiri tidak melakukan apapun untuk mengubahnya. Entah sedikit atau banyak, cepat atau perlahan, tidak apa, asalkan terus dicoba, terus dilakukan dan terus belajar. Tabunganku akan tetap nihil jika aku tidak mencari sumber pendapatan lainnya. Aku akan tetap jadi pegawai toko suami jika tidak belajar hal baru dan tidak mencoba membuat karya. Rutinitas impian hanya akan membuatku membenci diri sendiri jika tidak mulai aku lakukan secara nyata. Perabot rumah impian mungkin bisa aku dapatkan dengan mengalokasikan uang khusus dan membelinya perlahan. Rumah atas nama sendiri itu mungkin akan makin jauh dari nyata jika aku tetap dengan mindset dan kebiasaaan lamaku begini. Mungkin akulah yang harus aku ubah untuk mengubah realitasku. Jadi mari kembali menapak, menghargai masa kini, dan perlahan mengubah realitas sekarang menjadi realitas impian tersebut.

 

Senin, 08 September 2025

Si People Pleaser

September 08, 2025 0 Comments

    Saat SMA, aku pernah pura-pura suka anime Naruto karena crush ku suka itu, padahal aku gak tahu apa-apa tentang Naruto. Pernah juga ikut-ikutan jadi Milanisti, itu adalah sebutan bagi penggemar AC Milan. Aku ikut gabung jadi anggota fansclub-nya di Facebook, demi bisa dekat dengan orang yang sedang PDKT denganku saat itu. Padahal ya, aku gak terlalu paham dan suka dengan sepak bola. Aku juga pernah dengan sukarela sering mendengarkan musik-musik dari grup musik bernama Muse, lalu memproklamirkan diri sebagai penggemarnya juga. Padahal dari sekian banyak list lagunya hanya satu yang benar-benar kusukai, yakni lagu berjudul Can’t Take My Eyes off You. Udah, itu doank, yang selainnya berasa gak masuk ditelingaku, aku gak begitu suka dan sebenarnya ini agak memaksakan diri untuk nyaman mendengarkannya, karena mantan pacarku saat itu penggemar berat grup musik tersebut. Pernah juga ikut-ikutan marathon lihat film series detective dan film - film bergenre action, hanya karena teman-temanku menggandrungi itu. Kalau tentang makanan, aku sering sekali memasak dan makan makanan berbumbu medok dan aneka ikan laut, karena suamiku suka sekali makanan-makanan tersebut. Kalau di ingat-ingat ternyata dulu  aku konyol sekali.  Tapi kalau di pikirkan lagi, hmmm, sebenarnya itu hal yang sedikit menyedihkan. Pertama karena aku tidak begitu mengenal diriku sendiri. Aku tidak yakin apa yang aku suka dan tidak sukai. Kedua, aku yang memaksakan diri untuk “fit in” dalam kehidupan orang lain  supaya aku diterima, disukai, disayangi.

    Kalau ditarik mundur lagi, sepertinya aku sudah melakukan hal tersebut dalam waktu yang lama. Aku sering masuk ke lingkar pertemanan yang sebenarnya aku gak terlalu nyaman atau cocok, hanya supaya aku terlihat punya teman. Saat tinggal di rumah nenek kakek dulu, aku mengharuskan diri menyetrika baju semua penghuni rumah yang berjumlah 8 orang, dan tidak pernah absen melakukan pekerjaan rumah lainnya. Padahal tidak ada yang menyuruh, padahal para sepupu yang tinggal serumah saat itu juga tidak melakukan hal serupa. Tapi aku tetap melakukannya. Supaya aku tidak membuat malu orang tuaku di kampung. Aku ingin kakek nenek dan saudara-saudara mama tahu, meski mama dan bapak miskin tapi mereka sudah mendidikku dengan baik. Begitulah pikirku saat itu. Singkat cerita, aku di titipin ke rumah kakek nenek di Jawa karena keluarga kami di kampung kesulitan menyekolahkanku pasca lulus SMP. Di kampungku sekolah SMA sederajat jauh sekali dari rumah, harus ngekos atau punya motor dan saat itu keluarga kami sungguh sangat miskin. Mungkin saat itu orang tuaku berpikir dari pada aku putus sekolah, lebih baik aku di ungsikan saja ke Jawa yang saat itu punya kebijakan gratis bayar SPP bagi warga kota. Aku pun pindah menjadi warga Jawa Timur dan menetap tinggal di rumah kakek nenek. Aku diberi uang saku 200ribu sebulan. Sebenarnya sering sekali uang sebesar itu tidak cukup untuk kebutuhanku sebulan. Hampir tiap hari ada saja tugas yang mengharuskan untuk dikerjakan di warnet, lalu di print. Belum lagi ada iuran kelas, urunan kerja kelompok, atau ada acara kelas dan untuk membeli kebutuhan pribadiku. Aku ingat, dulu aku sering berbohong kalau aku sedang puasa saat di ajak teman-temanku beli jajan di kantin atau depan sekolah. Tapi aku gak pernah meminta uang tambahan ke kakek dan nenekku, kalau bukan urusan sekolah yang ada surat resminya dari sekolahan. Sungkan, berasa bersalah, merasa takut merepotkan, takut menjadi beban, begitulah alasanku. Penghasilan mereka hanya dari uang pensiunan kakek, yang seorang purnawirawan. Sudah diberi tumpangan hidup dan disekolahkan saja rasanya sudah sangat bersyukur. Aku tidak ingin lebih banyak merepotkan siapapun lagi. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sosok ‘anak baik’. Aku bersekolah dengan baik, meski diawal SMA aku gak bisa kembali peringkat 3 besar seperti saat SD dan SMP dulu, tapi aku tidak membuat masalah berarti. Segala macam bentuk kenakalan remaja tidak aku lakukan. Kegiatanku hanya bersekolah, mengerjakan tugas di warnet dan kerja sambilan mengajar anak SD di yayasan sosial dekat rumah sembari ikut kajian agama disana. Aku juga belum pernah pacaran atau berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis meski sudah SMA.

     Sepertinya aku sudah menjadi “anak baik” sejak kecil. Dulu saat SMP, teman-temanku nongkrong tiap sore di pinggir jalan atau di stasiun radio dekat sekolah, mereka berdandan cantik, bermain handphone dan saling asyik mengobrol. Yang aku lakukan adalah memunguti kayu bakar di tempat penggilingan kayu yang persis ada disamping stasiun radio tersebut. Mama dan bapak akan senang kalau aku melakukan itu, kayu bakar itu akan digunakan untuk memasak di tungku dapur kami. Apa aku malu?, tentu saja. Aku sering mengendap-ngendap supaya mereka gak lihat aku. Juga setiap hari libur, teman-temanku pergi berkumpul untuk ngaliwet, botram, atau jalan-jalan pakai motor untuk hunting foto pakai kamera. Kalau aku menghabiskan waktu libur dengan ikut mama bapak kakek dan nenekku ke huma (semacam kebun). Letaknya ada di dalam perkebunan karet yang masih separuh hutan. Kami harus berjalan jauh untuk nyampe sana. Keluargaku menanam berbagai macam tanaman, seperti kacang tanah, jagung, padi, dan aneka palawija lainnya. Aku sering membantu sekadar menggendong adikku sepanjang jalan dan jadi pengasuhnya disat semuanya sibuk bekerja bercocok tanam. Rasanya saat itu aku yang masih SMP ikut memikirkan bagaimana keluargaku bisa tetap bertahan hidup di tengah kemiskinan kami. Jadi aku tak berani meminta apapun. Sebetulnya aku juga ingin baju-baju bagus seperti yang dikenakan teman-temanku, juga saat itu sedang booming handphone, semua berlomba-lomba beli handphone. Aku? Bahkan gak berani bermimpi memilikinya apalagi meminta handphone ke orang tuaku. Baju pun aku tak berani meminta dan memilih baju yang aku inginkan. Takut kemahalan, takut membebani mereka dengan keinginanku. Saat ada kesempatan diajak ke pasar berbelanja baju atau saat ada tukang kredit baju datang ke rumah, jawabanku selalu “kumaha mama we (terserah mama aja)”. Entah sejak kapan tepatnya aku berhenti memilih dan memendam keinginanku. Rasanya Restu kecil sejak dulu berusaha keras membuat dirinya di terima dan di sayang. Akh ya, aku ingat, dulu aku selalu puasa di hari Minggu, hari lahirku. Aku gak tahu kenapa aku harus puasa di luar bulan Ramadhan, dan kenapa tiap weton ku itu aku harus berpuasa. Sebetulnya aku gak suka menahan haus dan lapar di usiaku yang masih kecil saat itu. Aku jadi lemas seharian, gak boleh renang di sungai dan jadi gak bisa main seperti teman-temanku. Tapi tetap aku lakukan, karena aku selalu dapat pujian mama dan bapak saat melakukan itu, aku juga di bangga-banggakan ke tetangga karena kuat dan rutin puasa.

    Sepertinya makin hari aku makin ahli dalam menahan perasaan, menyembunyikan keinginan dan pemikiranku, mendiamkan pendapat dan hidup seperti untuk orang lain. Lalu seiring bertumbuh dewasa, aku makin menyadari bahwa aku punya daya untuk mengiyakan apa yang aku mau, menolak apa yang aku tidak sukai, daya untuk hidup seperti apa yang aku ingini. Di usia menginjak kepala tiga ini, aku baru sadar hewan paling kusukai adalah kucing. Dulu aku gak suka karena mamaku benci dan sering mengusir kucing yang datang ke rumah. Aku baru sadar aku sangat suka lagu-lagu bergenre ballad, dengan unsur vocal yang kuat dari penyanyinya. Pantas saja lagu-lagu dari Muse dulu rasanya terlalu berisik bagiku. Akh ya, kini aku penggemar girl band Korea, SNSD, dan member favoritku adalah Taeyeon, yang menjadi main vocal berkat suara indahnya. Film dan drama favoritku adalah yang ber-genre Slice of Life, aku sangat nyaman menontonnya. Aku adalah penggemar K-Pop dan K-Drama. Comfort food-ku adalah bubur ayam dan nasi liwet. Aku suka makanan yang minim bumbu dan lebih suka makan sayur dari pada daging atau ikan. Hahaha~, ini lucu sekali, aku baru menyadari hal-hal sederhana begini di. Kemana saja aku selama ini hingga gak mengenali diri sendiri.

    Restu kecil terlalu sibuk mencari cinta, ia berkeyakinan bahwa “aku akan dicintai kalau aku menyenangkan orang lain”, ia belajar bahwa menurut dan tidak mengekespresikan keinginannya adalah cara terbaik supaya ia bisa menghindari penolakan, kritik keras atau konflik. Didukung oleh budaya dan norma yang bilang bahwa anak harus patuh, tidak membantah, harus menghormati dan mendahulukan orang lain. Sedangkan Restu remaja sibuk bertahan hidup, ia pikir dengan menyenangkan orang lain, ia merasa bisa menghindari konflik, penolakan atau rasa tidak aman. Ia juga merasa hanya akan dianggap “ada” jika ia memberi, membantu dan berguna bagi orang lain. Restu dewasa masih melakukan pola-pola serupa, tapi kini ia merasa lelah, sangat lelah. Dia masih sulit berkata tidak, ia masih sungkan menolak, ia masih menuruti apa yang bukan ia kehendaki demi orang lain. Kehilangan jati diri seperti itu yang membuat Restu dewasa perlahan merefleksikan kembali kehidupan yang selama 32 tahun dijalani ini. Sepertinya ia hidup sebagai people pleaser selama ini.

Sumber : Pinterest

    Setelah menyadari pola ini, tentu saja tak serta merta berubah begitu saja. Awal kali melatih diri untuk bekata ‘tidak’ itu rasanya seperti menjadi orang jahat. Tapi perlahan aku menyadari kalau itu adalah bentuk menjaga diri. Kebutuhanku sama pentingnya dengan kebutuhan orang lain. Aku belajar mengenali diriku, membuat batasan yang boleh dan tidak boleh dilanggar orang lain. Batas yang berbicara sejauh mana kita mentoleransi ketidaknyamanan, hak, dan value kita saat dibenturkan dengan keinginan dan kepentingan orang lain. Lalu aku mencoba sesekali mengkomunikasinya tetap dengan sopan, tapi kali ini ada rasa tegas didalamnya. Perlahan tapi pasti aku pun belajar mengekspresikan apa keinginanku, menunjukan pilihanku, caraku berpikirku dan apa yang aku rasakan. Tak sedikit penolakan, kritik, dan repon balik negatif yang aku dapatkan. Awalnya tidak nyaman mendapatkan hal-hal tersebut, tapi ternyata itu hal yang lumrah dan lama-lama terbiasa juga menghadapinya. Sedangkan part tersulit untuk berhenti jadi people pleasure adalah mengubah pola pikir dari yang “aku harus menyenangkan orang lain agar dicintai” menjadi “aku bisa tetap dicintai meski tidak selalu menyenangkan orang lain”. Aku belajar mencintai diriku sendiri lebih keras, mulai dari berkenalan kembali dengan diri sendiri yang selama ini sering aku abaikan. Memberi ruang, mengeksresikan diri, membebaskan pikiran, melepaskan beban yang bukan tanggungjawabku, memvalidasi emosi yang dirasakan, lalu bersuara bahwa “aku berharga, aku penting, aku layak”

Jumat, 22 Agustus 2025

Seperti Apa Rasanya Depresi? (Part 2)

Agustus 22, 2025 0 Comments

     Tak berhenti disitu, aku pun mulai membenci diriku sendiri. Sudah tahu kondisi keuangan keluarga kecil kami sedang tidak baik-baik saja. Bukannya membantu, malah menjadi beban saja rasanya. Aku kasihan pada suamiku yang harus jadi satu-satunya yang bekerja. Rasanya ijazah sarjana yang susah payah kudapatkan itu pun berakhir sia-sia. Aku hanya menjadi ‘aib’ bagi orang tuaku karena ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga dan tak berpenghasilan. Aku tak bisa membanggakan mereka. Aku ingin bisa kirim uang ke mereka untuk biaya adikku kuliah, tapi aku pun kesulitan mengatur keuangan untuk sehari-hari apalagi menyisihkan untuk menabung. Aku sedih sekali, dan marah ke diri sendiri. ‘Kenapa kamu begitu tidak berguna, Restu’!, seperti ada suara yang terus terdengar seperti itu. Tidak punya modal cukup, hp yang tidak proper, tidak punya laptop, tidak punya koneksi, tidak tahu caranya, tidak ada waktu, sibuk urus anak, dst, meskipun ada sedikit logisnya tapi  terdengar seperti hanya alasan saja. Tapi aku coba beberapa hal, jualan sparepart motor di marketplace, jualan buku anak, jadi reseller tas import, mencoba jadi content creator, melamar jadi buruh potong sandal, tapi semua tak ada yang berhasil. Aku makin membenci diriku sendiri. Hari-hariku penuh dengan menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, tidak berharga, merasa menjadi beban, menjadi aib dan rasanya aku ingin menyerah saja. Aku hancur dari dalam.

    Lucunya, tampak luar aku menjadi seorang yang berubah menjadi mudah emosi dan meledak-ledak. Aku jadi lebih sering marah, kadang aku bisa marah sambil menangis, kadang sambil teriak-teriak, kadang diam seharian. Aku membenci pagi hari, aku benci harus bangun lagi, harus menghadapi hari-hari yang menjenuhkan ini lagi. Tapi aku harus tetap bangun, ada anakku yang harus kurawat dan butuh perhatian, aku harus memandikannya, memberinya makanan bergizi, mengajaknya bermain banyak hal dan aku harus tetap jadi sandaran yang nyaman dan aman baginya. Aku harus tetap bagun, tetap terjaga, tetap hidup dan tetap terlihat ceria baginya. Aku adalah dunianya saat ini, jadi aku harus baik-baik saja, setidaknya dihadapan dan saat bersamanya. Tapi aku pun punya batas limit, bisa lelah juga. Aku butuh sandaran dan sekadar tempat berkeluh kesah yang aman dan nyaman. Tapi saat itu suamiku masih dalam proses mencerna apa yang terjadi padaku. Dalam dunia maskulinnya, ia tidak terbiasa menghadapi keluhan, apalagi tangisan. Ia panik dan sering buru-buru mengakhiri atau mengalihkan pembicaraan saat aku mulai menangis. Tak jarang ia pun menganggap cerita ku sebagai luapan emosi yang berlebihan dan dramatis saja. Ia pun gak suka dengan percakapan yang bahasannya terlalu mendalam, deep talk. Lebih menyebalkan lagi, karena ia sering kali tak punya waktu dan tenaga juga. Pekerjaannya mengharuskan dia motoran berjam-jam, keliling dari satu toko ke toko lain, ke luar kota, dan itu setiap hari, dari pagi kadang hingga larut malam baru pulang. Kalau sudah sangat lelah, ia biasanya menginap saja di rumah mertuaku di Surabaya yang memang lebih dekat dengan area kerjanya. Dan di hari liburnya tentu saja ia ingin dan akan lebih memilih tidur seharian di rumah dari pada jalan-jalan keluar. Aku harus sering-sering memakluminya dan berempati atas lelahnya.

    Aku takut bercerita ke mama atau bapakku, kami bukan keluarga yang terbiasa saling jujur terhadap perasaan masing-masing, dan prediksiku kalau aku nekat cerita, jawaban mereka pasti menyuruhku lebih mendekatkan diri kepada Allah, harus lebih rajin sholat, dan sering-sering bersyukur. Kalau cerita ke mertuaku, akh tentu saja aku yang akan kena omelan mereka. Dalam kerluarga mereka, gambaran peran dan keseharian suami dan istri memang seperti begini, tidak ada yang salah, jadi akan semakin terlihat akulah yang bermasalah. Cerita ke teman, hmmm, aku tidak punya teman. Serius!, sudah lama aku gak komunikasi dengan teman-teman SD dan SMP ku yang jauh di Jawa Barat sana, sedangkan teman SMA yang ada disini pun sudah lama aku gak saling menghubungi apalagi ikut reuni. Kalau teman kuliah dan kerja, hmmm, panjang ceritanya, sekarang tinggal Mega saja yang masih rajin chatt-an dengan ku. Aku bukan berkonflik dengan mereka, hanya sungkan untuk memulai komunikasi, takut merepotkan. Aku pikir mereka pun sama sibuknya dengan keluarga dan dunia mereka masing-masing. Ceritaku mungkin hanya akan menjadi tambahan beban dan tidak terlalu penting. Akhirnya aku lebih memilih untuk memendamnya sendirian.

    Tapi aku tidak tinggal diam, setiap ada kesempatan aku mencoba menghibur diri dengan aneka kegiatan refreshing. Anehnya, banyak yang berubah, sholat dan mengaji rasanya tak tahu untuk apa gunanya kulakukan, tak semenenangkan dulu. Menonton drama korea tak lagi menarik dan membuatku terhibur. Jalan-jalan ke luar rasanya tetap kosong. Jajan makanan-makanan favoritku pun rasanya tak pernah bahagia dulu, jadi biasa saja. Aku hanya ingin berdiam diri di kasurku, bermain gawai dan menenggelamkan diri dalam berbagai informasi di media sosialku, tanpa tujuan. Memang tidak menghibur, tapi setidaknya aku terdistraksi dari keharusan menghadapi kenyataan. Kalau bisa tidur lama, aku ingin tidur terus, sayangnya itu tidak memungkinkan. Aku ingin lari dari kenyataan. Lalu pelan-pelan melakukan kegiatan sehari-hari rasanya berat sekali. Untuk bangun dari tidur pagi aku butuh waktu ekstra untuk sekadar beranjak dari tempat tidur. Mandi pun sama, kalau bukan karena anakku butuh mandi, mungkin aku sudah tak mandi berhari-hari. Makan pun begitu, kadang aku bisa tak ingin makan seharian sekalipun lapar. Kadang bisa sebaliknya aku bisa terus-terusan makan sekalipun sudah kenyang. Jangan ditanya lagi seberapa terganggunya hubunganku dengan orang -orang sekitar. Yang paling sering terdampak dan kasihan adalah suami dan anakku, aku menjadi istri dan ibu yang menyebalkan menakutkan.  Aku tahu mereka pun sedih, khawatir, serba salah, dan gak tahu harus berbuat apa. Dengan orang tua, aku memilih pura-pura baik-baik saja. Toh mereka hanya bertanya dan peduli tentang cucunya saja. Dengan mertua, aku selalu panik dan rungsing sendiri tiap akan berkunjung ke rumahnya, atau sebaliknya berkunjung ke rumahku. Bahkan mendengar suara mereka di telpon pun sudah membuat aku tidak nyaman. Lalu sebisa mungkin aku menghindari interaksi dengan tetangga dan orang lain yang tak perlu. Melelahkan sekali berinteraksi dengan manusia.

Sumber : Pinterest

    Begitulah pola yang seperti lingkaran setan ini berlangsung selama hampir 3 tahun. Tepat di hari ulang tahun anakku yang ke-3, aku memutuskan meminta bantuan. Aku pergi ke profesional, ditolong oleh psikolog dan psikiater sekaligus. Ternyata selama ini aku sedang berhadapan dengan depression episode, high functioning depression. Monster dalam diri ini masih bersemanyam hingga sekarang, meski banyak hal yang sudah membaik. Pandanganku terhadap diri sendiri mulai banyak terkoreksi, hubunganku dengan anak-suami-orang tua-mertua-dan sekitar mulai membaik. Perasaanku lebih tenang, pikiranku lebih jernih, dan rasanya langkahku makin terasa ringan setiap harinya. Aku pernah bertanya apa penyebab depresiku, psikiaterku bilang penyebabnya multifaktor. Aku pun pernah membaca beberapa buku tentang depresi bahwasannya penyebab depresi itu campuran antara biologis tubuh (genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter otak, kondisi medis) yang terganggu + kondisi psikologis (dari pikiran dan emosi) + lingkungan dan sosial (tekanan hidup, kesepian, kurangnya dukungan sosial, trauma). Jadi bukan karena faktor tunggal. Pengobatanku selama ini dengan psikoterapi dan obat-obatan antidepresan. Aku masih mengkonsuminya hingga sekarang, dengan dosis yang makin berkurang. Aku cukup rajin kontrol sebulan sekali dan disiplin minum obat. Yang kurasakan adalah obat tersebut membuatku sedikit mengantuk di awal minum, lalu membuatku merasa lebih tenang, lalu membantuku mengontrol mood dan berpikir sedikit lebih jernih. Aku gak pernah tiba-tiba berhenti konsumsi obat-obatan tersebut, takut efeknya relapse atau kembali merasakan gejala-gejala depresi dari awal. Hmmm, ini saja sudah melelahkan sebetulnya berobat hampir 3 tahun berjalan. Aku tidak mau mengulang pengobatan dari awal dan kembali ke masa depresi awal yang menyeramkan. Kenapa pengobatanku lama, hmmm, sepertinya aku sendiri yang memang kurang fight melakukan berbagai pengobatan mandiri. Harusnya aku lebih banyak bergerak, berjemur, latihan pernapasan, journaling seperti ini, mencoba melakukan hal-hal baru, memproses trauma satu-persatu, membaca buku, mendengarkan podcast yang bermanfaat, menghargai pencapaian-pencapaian kecilku, menyukuri dan belajar bahagia dengan hal-hal kecil, sering sering pergi ke alam, belajar mindful, dan belajar mencintai diri sendiri. Semua itu sungguh sulit konsisten dilakukan tapi akan terus kucoba. Semoga tahun ini tahun terakhirku bersama monster bandel ini dan ia tak perlu datang lagi ke hidupku. 


Seperti Apa Rasanya Depresi? (Part 1)

Agustus 22, 2025 0 Comments

     Mungkin banyak yang bertanya-tanya seperti apa rasanya depresi, apa bedanya dengan sedih, dengan duka, dengan stres, dengan trauma. Lalu kenapa sampai butuh berobat ke profesional. Kenapa tidak cukup dengan bahagia, beribadah, bersyukur, refreshing atau jalan-jalan healing. Kenapa bisa terjadi, apa penyebabnya, apa bisa sembuh, apa bisa kambuh. Kenapa harus minum obat, apa selalu harus dengan obat, apa gak membuat kecanduan dan efek samping kesehatan lainnya. Apakah ini benar-benar “sakit”, apa bukan halusinasi atau sikap lebay saja. Semua orang juga punya masalah dan struggle-nya sendiri, kenapa bisa terkena depresi sedangkan yang lain bisa baik-baik saja. Apa pengidap depresi itu karena mentalnya saja yang lemah. Dan aneka pertanyaan lainnya. Sebelum itu, disclaimer dulu, aku bukan seorang profesional yang berhak menjawab semua pertanyaan diatas secara ilmiah. Aku hanya seorang pejuang depresi yang sedang berusaha pulih. Kelak ceritaku ini juga bukan untuk menjadi bahan self diagnose juga ya. Aku hanya ingin bercerita tentang si depresi ini dari POV seorang yang berusaha berdamai dengannya.

    Awalnya aku hanya terkena baby blues pasca melahirkan. Kehidupan menjadi seorang ibu baru sungguh banyak hal tak terduga. Rasanya duniaku seketika berubah. Prioritasku berubah karena sekarang ada anak yang menjadikan aku dunianya. Tubuhku juga berubah, gejolak hormon hamil-melahirkan-menyusui sungguh membuatku kesulitan mengontrol mood. Belum lagi tentang berat badan, rambut rontok, payu**ra yang ikut bengkak dan lecet saat menyusui. Jam tidur yang berkurang banyak dan jadi tak menentu. Pola makan yang juga berantakan tapi jadi banyak pantangan makanan karena menyusui. Tak ada lagi berlama-lama nongkrong di warkop, jalan-jalan santai ke luar rumah, bahkan tak ada lagi mandi dengan tenang. Sisi lain kehidupanku sebagai seorang istri juga harus tetap berjalan. Aku harus memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah dan mengatur segala sesuatunya. Semua harus kulakukan seorang diri, karena jauh dari keluarga, dan belum mampu untuk membayar ART. Saat itu sungguh rasanya waktu 24 jam gak cukup, aku lelah tapi banyak yang harus kulakukan. Mempunyai anak itu sungguh bahagia, tapi mengurusnya seharian sendirian dan setiap hari itu sungguh hal berbeda. Aku sering clueless, jenuh, dan jadi ikutan tantrum saat anakku tantrum. Jika tahu akan se-hectic dan se”nano-nano” ini saat punya anak, mungkin aku akan lebih mempersiapkan diri terlebih dahulu secara fisik-mental-finansial sebelum punya anak. Sayangnya tak pernah ada kata benar-benar siap untuk menjadi ibu dan sekolahnya menjadi orang tua adalah sekolah mandiri yang berlangsung seumur hidup. Semoga seseorang yang membaca ini yang belum menikah atau belum mempunyai anak tidak malah menjadi takut dan berpikir berlebihan seolah kehidupan pernikahan atau punya anak itu menakutkan. Tidak, sungguh!.

    Seberat apapun adaptasi saat awal menjadi ibu, semua akan baik-baik saja, kuncinya ada di support system. Keberadaan orang-orang yang memahami bahwa kamu juga butuh dipenuhi kebutuhan dasarnya sesederhana butuh kenyang dulu, butuh mandi juga, butuh istirahat cukup. Yang peduli kalau kamu butuh jeda, butuh sesekali ke luar rumah, sesekali makan beli atau makan di luar, sesekali jajan, sesekali laundry, sesekali libur dari kerjaan rumah, dan tentu saja butuh sesekali  gantian pegang anak. Jika semua itu berlebihan, maka sekadar berempati pada seorang ibu baru, yang juga bisa capek sama seperti para pekerja yang keluar rumah mencari uang, itu mungkin cukup menjadi support system.  Hmmm, sayang sekali, saat itu aku hampir tidak punya seseorang yang bisa ku sebut sebagai support system. Suamiku, singkat cerita saat itu ia belum tersadarkan dan se-supportive seperti sekarang. Dibesarkan dalam keluarga patriarki kental memang membuatnya kesulitan memahami bahwa peran seorang suami dan ayah itu bukan sekadar mencari pundi-pundi uang. Ada anak kami yang juga butuh waktu, tenaga dan butuh merasakan kasih sayangnya sebagai seorang ayah. Ada rumah yang kami tinggali bersama yang butuh campur tangannya agak tetap bisa di tinggali dengan nyaman. Ada istri yang meskipun sekarang jadi seorang ibu, tapi butuh juga di perhatikan selayaknya pasangan, bukan robot, babysitter atau pembantu. Lalu tentang keluarga lain, orang tua, mertua, mereka semua tinggal beda kota, jadi memang tidak memungkinkan membantu. Dan sebagaimana kebanyakan generasi Gen X,  banyak sekali ilmu, mindset dan informasi yang berbeda mengenai pengasuhan anak di zaman sekarang. Niat mereka baik, tapi mereka sering lupa bahwa ilmu dan informasi berkembang terus, dan kadang mereka susah melepas hal-hal yang mereka anggap benar dan turun temurun sekalipun itu salah. Seperti halnya sudah tidak lagi bayi dipakaikan bedong ketat berhari-hari, meminumkan kopi supaya tidak terkena kejang demam, memberi air putih atau madu pada bayi yang masih belum genap seminggu, memberi makan pisang sebelum usia 6 bulan, dll. Ada juga yang dulu di anggap hal yang tidak boleh bagi anak, tapi sekarang bernilai baik, seperti berjalan tanpa alas kaki ‘nyeker’, membacakannya buku sekalipun bayi belum bisa membaca, makan telur setiap hari, main lumpur, main becek-becekan, hujan-hujanan, dst. Kadang gesekan perbedaan lintas generasi ini cukup membuatku kesulitan. Mereka juga sering lupa, sesayang apapun mereka terhadap cucunya, tetap saja akulah ibunya, aku bukanlah babysitter yang mereka titipi anak. Saat cucu mereka luka atau sakit atau kenapa-napa, yang menanggung konsekuensinya, yang paling khawatir, yang kerepotan, yang berasa bersalah, yang kewalahan, yang sedih, dan juga ikut merasakan sakitnya itu adalah aku, ibunya. Jika tidak bisa membantu hadir secara langsung, setidaknya tidak perlu menyalahkan dan mengomentari hal-hal yang menyakitkan hati anaknya. Sedikit belas kasih terhadap anaknya ini yang pertama kali menjadi ibu dan masih belajar menjadi orang tua mungkin akan sangat berarti. Sayangnya tidak aku dapatkan.

    Jika kalian pikir perkara ketiadaan support system ini sudah membuat baby blues-ku berkembang lebih parah menjadi Postpatrum Depression, kalian salah. Ada lagi yang membuatnya terasa sebagai  “bencana yang tak berakhir”, yaitu aku sendiri. Aku merindukan diriku yang dulu. Aku kangen sekali bisa bekerja diluar, bertemu banyak orang, membicarakan hal-hal selain popok, mpasi, harga sembako, menu masakan, dan ide stimulasi anak. Aku kangen berkompetisi soal kinerja dan target. Oh tentu saja aku juga kangen dapat gaji. Aku ingin membelanjakan uang gajianku tanpa beban tanpa perlu izin dan tanpa merasa bersalah memprioritaskan diri sendiri. Aku ingin dapat apresiasi atas hasil usahaku lagi. Aku ingin bekerja dalam batas jam kerja, yang setelahnya aku bisa bebas bersantai. Aku ingin sesekali libur, izin sakit, dan cuti. Semua hal ini tak lagi bisa kudapatkan setelah menikah dan mempunyai anak. Menjadi ibu rumah tangga awalnya memang sebuah pilihan sadar yang aku dan suamiku pilih. Tapi memang harus aku akui bahwa ada sebagian dari diriku yang merasa dalam kondisi “tidak ada pilihan lain”. Aku sudah bekerja part time sejak SMA, kuliah pun sambil aktualisasi cari uang, aku memang tidak punya jenjang karir yang bisa dibanggakan, pekerjaanku hanya pekerjaan yang sebatas bertahan hidup asal menghasilkan uang, berganti-ganti, berpindah kota, hanya sekadar menangkap peluang yang ada. Tapi diam-diam aku bangga atas pencapaianku sendiri. Bisa mandiri sejak SMA, kuliah sendiri tanpa merepotkan orang tua, dan menjalani setiap pekerjaanku dengan penuh dedikasi. Selama ini bukan hanya uang kuhasilkan, tapi juga pengakuan, apresiasi, lahan aktualisasi dan yang paling penting adalah perasaan berdaya dan kepercayaan diri. Lalu kemudian, kondisi tidak lagi bekerja begini ikut membuat aku kehilangan rasa berdayaku, kepercayaan diri dan perlahan membuatku merasa tidak berharga. Aku kehilangan diriku sendiri. 

Sumber : Pinteret



Lanjut Part 2...

Rabu, 06 Agustus 2025

Memeluk Luka Inner Child

Agustus 06, 2025 1 Comments

     Anakku sekarang jadi murid TK B, dan sebagaimana anak-anak seumuran dia pada umumnya para ibu mereka mulai mengajari pelajaran baca tulis hitung. Aku sering lihat berseliweran update status story WhatsApp atau media sosial lainnya teman-temanku yang punya anak TK pamer tulisan tangan anaknya atau video anaknya bisa mengeja huruf. Ada yang di ajari sendiri adapula yang mendatangkan guru privat atau dimasukkan les calistung. Sebetulnya aku tidak “panas hati” atas pencapaian anak-anak mereka, karena aku dan ayahnya sejak dulu tipikal orang tua yang santai dan tidak terlalu kompetitif. Hanya saja aku jadi terbersit sepertinya mulai harus membiasakan anakku mengenal adanya jam fokus belajar rutin tiap harinya. Selama ini sepulang sekolah, dia makan siang lanjut tidur siang, lalu sore setelah makan, ia akan bermain bebas dengan teman-temannya di toko sampai jam 9 malam, terus pulang ke rumah untuk tidur. Aku masih yang percaya bahwa bermain itu memberikan berbagai stimulasi yang bermanfaat untuk dia dan itulah caranya belajar. Dengan berbagai variasi bermain dia mendapat stimulasi motorik kasar, motorik halus, belajar menangani konflik, komunikasi bahasa, dan tentu saja aktif bergerak. Sedangkan tentang belajar membaca dan berhitung, aku mengenalkan huruf lewat membacakan dongeng setiap malam, dan berhitung lewat objek riil yang bisa di hitung atau pakai uang. Selama ini aku merasa itu sudah cukup, tapi akhir-akhir ini aku rasa di perlu juga di latih untuk belajar dalam kondisi duduk dan mengenal angka huruf lewat aneka worksheet. Aku pun mulai sounding ke dia mengapa di harus melakukan itu dan pembiasaanya cukup 10 menit saja setiap hari.

    Hari itu pun di mulai, dalam jeda ba’da Maghrib aku ajak dia duduk diam di atas meja kerjaku, mensodorinya aneka latihan huruf dan angka secara bergantian. Kadang media belajarnya pakai kertas dan spidol, kadang pakai laptop, kadang pakai mainannya yang berbentuk huruf abjad, atau pakai buku bacaan dan worksheet yang memang diperuntukan untuk latihan calistung. Sebisa mungkin aku pun membuatnya menjadi moment yang menyenangkan. Aku beri tahu dia betapa asyiknya bisa membaca dan berhitung. Aku banjiri dia dengan pujian saat dia melakukannya dengan baik. Aku menahan diri sebisa mungkin untuk tidak marah saat dia salah berulang kali. Aku berusaha untuk tidak mengkoreksinya dengan heboh dan menyalahkannya. Aku rayu dengan iming-iming jajan jika dia sudah mulai rewel ingin segera berhenti belajar sebelum 10 menit berakhir. Aku juga membekali diri dengan membaca buku dan belajar fonik supaya mengajarinya dengan baik dan tidak membosankan. Aku ingin dia ingat bahwa belajar membaca dan berhitung dengan mama itu menyenangkan.

    Rasanya aku sudah melakukan yang terbaik semampuku. Namun ternyata respon anakku berbeda dengan ekspektasiku. Dia sering sekali enggan untuk mulai duduk diam belajar, sulit sekali membujuknya untuk sekadar bertahan 10 menit saja. Kadang ia sengaja menjawab asal-asalan, kadang dia tiba-tiba membisu lalu tertawa terbahak-bahak melihat aku yang frustasi membujuknya untuk fokus. Kadang saat belajar menulis ia malah menggambar, kadang ia belajar sambil merajuk, sambil cemberut dan menjawab pertanyaanku secara terpaksa. Secara hasil belajar progressnya rasanya lambat sekali, dan secara proses benar-benar jauh dari ekspektasiku. Setiap habis belajar aku selalu bertanya sendiri apa yang salah, apa yang bisa ku perbaiki. Lalu ku coba lagi keesokan harinya, mencoba menyodorkan hal yang baru, dengan senyum yang lebih ceria, dengan intonasi suara yang lebih lembut, dengan mimik wajah yang lebih playful, dan aneka cara lain supaya dia bisa lebih nyaman belajar 10 menit tadi. Terhitung hampir satu bulan begini ini, dan lagi-lagi progress hasil maupun prosesnya rasanya minim perubahan.

    Lalu kemarin saat anakku mulai bertingkah rewel untuk belajar 10 menit itu, meledaklah timbunan rasa lelah, bingung, kecewa, marah dan khawatir itu. Di depannya aku menangis tersedu-sedu, sampai ia sendiri bingung dan memelukku. Aku terus mempertanyakan ‘kurang sabar apa aku ke dia’, ‘apa selama ini semua usahaku sia-sia’. Emosi itu datang begitu pekat dan butuh waktu lama untuk benar-benar tenang, bahkan keesokan harinya pun aku masih menangis. Aku sendiri terheran-heran kenapa bisa se-emosional ini aku kali ini. Bukankah ini cuma perasaan lelah mengajari anak yang rewel belajar?. Lama aku berpikir ternyata ini bukan perkara anakku. Ternyata aku lah yang aku tangisi, aku yang ter-trigger masa kecilku sendiri. Mengajari anakku belajar sepertinya memanggil kembali memori-memori aku dulu diajari belajar juga dan bagaimana aku di perlakukan saat kecil. Ada anak kecil duduk di kursi plastik warna biru belajar diatas meja bergambar lukisan sawah di ruang tamu, setiap habis maghrib mamanya mengajari pelajaran sekolah dan bapaknya mengajarinya mengaji. Pahanya penuh luka memar biru bekas cubitan kecil dari sang mama. Kadang ia menulis PR sekolahnya sambil menangis, kadang ia menahan semua keluh kesahnya dalam diam tanpa suara karena takut pukulan sapu lidi mendarat di pantatnya. Saat ia benar tak pernah di puji, saat ia salah ia akan dikatai “belet” (baca:bodoh) atau “kitu oge teu bisa” (baca: gitu aja gak bisa). Saat ia menolak itu artinya melawan orang tua dan tentu saja omelan amarah dan omongan pedas menyakitkan hati yang keluar dari mulut mereka. Bapaknya hanya diam melihat ia di cubiti dan dihujani kata-kata menyakitkan itu. Ia merasa sendirian, tak ada yang membelanya, mungkin juga tak ada yang peduli. Hingga ia pun memutuskan untuk menahan, diam, dan menjadi anak baik saja. Anak itu adalah aku.

    Aku gak menyangka kejadian yang terjadi sudah sangat lama itu ternyata menjadi satu trauma yang tersimpan dalam tubuhku hingga sekarang. Saat mengingatnya dadaku terasa sesak, tanganku gematar dan air mata terus saja mengalir. Mungkin Restu kecil juga ingin menolak, ingin rewel, ingin menangis, ingin teriak, dan ingin berontak kabur saat  ia kecil, sama seperti yang dilakukan anakku sekarang. Restu kecil juga ingin di puji saat melakukan hal yang baik/benar. Ia ingin mama bapaknya tidak melulu mengungkit dan membesarkan kesalahannya. Apalagi mengatainya dengan umpatan kasar dan omongan yang membuat hatinya ciut. Ia ingin di dengar, ia ingin di peluk dan di tenangkan saat menangis. Ia ingin menolak tanpa di katai membangkang, Ia ingin tetap di sayangi orang tuanya meski tidak menjadi anak baik dan sempurna. Restu kecil merasa cinta mama dan bapaknya penuh syarat dan sulit sekali menjadi anak  kebanggan mereka, apalagi jika sudah dibandingkan dengan teman-teman yang lain dan adiknya sendiri. Hampir tak pernah ia mendengar mama bapaknya mengatakan “terimakasih”, “maaf”, “aku sayang kamu”, atau memeluknya menciuminya, dan ia terus mempertanyakan apakah mereka kecewa padanya, apakah ia disayang orang tuanya, bahkan sampai ia dewasa tak pernah terjawab. Dan kini, Restu kecil iri pada anakku yang mendapat semua itu.

Sumber : Pinterest, Image Credit @ Kimberly Jay


    Dari pengasuhan yang kita dapat, mungkin kita akan mengambil sebagian yang kita anggap baik dan membuang yang buruknya. Termasuk melakukan kebalikan dari sesuatu yang buruk dalam pengasuhan kita dulu. Begitulah yang ku coba lakukan terhadap anakku sekarang. Meski memang rasanya tak mudah memberi sesuatu yang sebelumnya tidak kita dapatkan. Meski sulit bersikap berbeda dari yang sebelumnya di contohkan. Harus belajar ulang, harus membangun kesadaran, harus bersikap mindful, harus banyak yang dilakukan dan pelajari. Semua demi tidak menjadikan anak mempunyai luka yang sama.

Teruntuk Restu kecil, “Sini nak, sini kupeluk…. kamu aman sekarang, gak apa kalau mau nangis, itu bukan cengeng atau lemah, nangis aja gakpapa. Lihat! Kamu tumbuh dengan kecantikan khasmu. Gigi seri yang patah dulu sudah kita perbaiki dan tak lagi membuat malu untuk sekadar tersenyum. Lihat! Kamu gak bodoh, lihat! kamu berhasil selesaikan study-mu sampe Sarjana. Dan lihat! kamu juga bisa melakukan banyak hal loh, bertahan sendirian di perantauan sejak SMA, kerja di banyak bidang, dan sekarang menjadi ibu. Gak apa melakukan kesalahan, gakpapa, bisa kita perbaiki. Sekarang cobalah! Coba banyak hal yang kamu inginkan sejak dulu tanpa perlu khawatir berlebihan. Gakpapa gagal, salah, berisiko, malu, rusak, jatuh, rugi, terluka, sakit itu hal yang biasa saja terjadi. Kita tetap bisa belajar dari hal itu. Sekarang kamu berdaya, kamu bisa merubah keadaan seperti yang kamu ingin dan yakini. Dan sekarang kamu boleh berhenti jadi anak baik. Kamu boleh nolak hal yang kamu gak suka kamu gak mau. Kamu boleh memilih bebas tanpa perlu membuat orang lain senang atau suka. Kamu sekarang boleh marah saat ada yang menyakiti hati dan tubuhmu. Kadang orang akan kecewa terhadapmu, tapi biarlah, kita memang gak bisa membuat semua orang senang, membuat semua orang suka, dan itu gakpapa. Kamu gak perlu jadi sempurna untuk merasa berharga. Keberadaanmu saja sudah berharga. Kamu di sayang, bahkan saat semua orang tidak menyukai dan menyangimu, aku disini, aku menyayangimu apa adanya. Kadang dunia terasa berat dan jahat, tapi kita bisa kog melaluinya. Lihat! Kita bisa bertahan sampai sekarang. Kita melakukannya dengan baik, dan seterusnya akan seperti itu. Aku akan berada terus disisimu. menemani masa terang dan gelapmu, juga terus bertumbuh bersamamu. Satu lagi, aku sangat bangga padamu". Dari Restu umur 32 tahun. 

Rabu, 25 Juni 2025

Baju, Tas, dan Make Up

Juni 25, 2025 0 Comments


    Minggu depan anakku ada pentas sekolah, dia akan tampil menari dengan teman-temannya. Senang dan antuasiasnya sudah jauh-jauh hari begini. Menyiapkan segala macam keperluannya untuk tampil nanti. Kebetulan untuk orang tuanya ada drescode yang harus dipakai saat datang ke acaranya, yaitu baju batik. Sedangkan untuk anakku, sudah disewakan baju khusus menari oleh gurunya, tapi ia harus di rias sebelum tampil. Begini saja sudah bikin aku pusing beberapa hari ini. Kebetulan baju batik satu-satunya yang kupunya zaman sebelum menikah sudah gak muat di pakai, jadi aku harus beli baju batik baru. Beli baju tentu harus di sesuaikan dengan bawahan apa, pakai rok, pakai celana atau beli dress batik saja sekalian. Belum lagi disesuaikan dengan kerudungnya, warnanya, motifnya, modelnya. Oh satu lagi, tas. Tentu saja aku butuh tas. Tapi aku gak punya tas yang pantas untuk kupakai di acara formal begitu. Aku hanya punya dua tas, satunya tas hitam yang talinya rusak sebelah, dan tas selempang hijau yang sudah kumal karena dipakai sehari-hari. Sepatu, oh untungnya aku masih ada satu sepatu yang masih layak dipakai, tapi warnyanya coklat. Jadi aku harus cari perpaduan baju batik, bawahan, dan kerudung yang cocok untuk dipadupadankan dengan sepatu coklatku. Lalu make up, anakku harus dandan, dan aku juga?. Oh My God!

    Saat kecil dulu, setiap ditanya mau baju yang mana kalau diajak beli baju di pasar, jawaban yang keluar dari mulutku selalu ‘’terserah mama saja”. Bukannya aku gak punya pilihanku sendiri, tapi aku memilih untuk tidak punya pilihan atau keinginan baju tertentu. Karena membeli baju adalah sebuah hal langka bagi keluarga kami saat itu. Dulu sekadar membeli telur untuk pendamping makan saja sangat jarang, kalaupun beli telor itu hanya di berikan untukku dan adikku, atau kadang satu telur di campur terigu dan air yang banyak agar bisa dinikmati oleh mama dan bapak juga. Tak banyak yang bisa kulakukan untuk membantu mereka selain hidup dengan tahu diri dan lebih pengertian, yang  artinya aku harus sering menekan keinginan dan perasaan supaya tidak semakin membebani mereka yang sudah kesulitan. Efek samping yang terbawa sampai dewasa kini adalah selain jarang sekali membeli baju, juga aku yang gak tahu baju dan style seperti apa yang cocok dan aku sukai. Kebanyakan baju yang aku pakai adalah pilihan mama. Lucunya, sampai setelah aku punya anak pun mama masih sering membelikanku baju. Mungkin begitulah bahasa cintanya mama kepadaku. Makanya selama 10 tahun belakang ini pun gak habis dihitung jari berapa lembar baju yang kubeli sendiri.

    Sedangkan tentang make up dan tas, sudah bisa ditebak bahwa keduanya adalah sebuah kemewahan bagiku sejak dulu. Aku yang baru tahu bedanya make up dengan skincare, yang juga baru tahu kalau cream wajah itu banyak jenis dengan fungsinya masing-masing, bukan sekadar cream siang dan cream malam. Biasanya aku hanya punya 1 bedak, 1-2 lipstik, dan 1 cream wajah. Setahun terakhir ada tambahan 1 suncream. Merknya pun berganti-ganti tergantung mana yang sedang diskon dan gak boleh lebih dari budget. Belinya jarang karena awet berbulan-bulan yang memang karena jarang kupakai. Jika harus menghadiri acara formal atau kondangan barulah bedak dan lipstik itu keluar dari tasnya. Mukaku berjerawat sejak SMP, tapi terus terang hingga sekarang aku gak tahu gimana caranya menyembuhkan jerawat. Aku gak bisa mencoba berbagai skincare penyembuh jerawat karena memang gak ada uang cukup  untuk membelinya. Aku baru sadar aku benar-benar awam tentang cara merawat wajahku, dan buta tentang make up. Kalau dipikir-pikir memang wajar, karena selain terbatas uang untuk membelinya, aku juga jarang melihat mamaku sendiri merias wajahnya dengan make up selain bedak dan lipstrik. Hampir 30 tahun lebih begini, pengalaman bermake up hanya 3 kali, wisuda SMA, wisuda sarjana, dan saat akad dan resepsi menikah. Semuanya di rias oleh orang lain, dan pasrah saja apa yang dilakukan mereka terhadap wajahku. Aku sepertinya juga punya trust issue tentang make up bahwa make up itu sebuah kepalsuan dalam penampilan. Padahal mungkin saja aku gak menyukainya karena memang belum terlalu mengenal make up.

    Terkadang aku heran dengan kenapa perempuan begitu menyukai tas dan mengoleksi berbagai tas apalagi dengan harga-harga yang fantastis. Tas mungil seharga motor yang bahkan di  satu handphone pun gak muat didalamnya. Lalu untuk apa beli tas, yang kan memang fungsinya untuk membawa barang. Aku gak pernah tertarik dengan mengoleksi tas apalagi tas branded, karena memang gak punya cukup uang untuk membelinya. Bila di ingat-ingat, dari kecil aku hanya punya 1-2 tas saja, dan membeli baru saat tas tersebut sudah benar-benar rusak gak bisa dipakai. Membeli tas 10x lebih jarang dari membeli baju dan make up.

    Semua pemikiran dan kebiasaanku tentang baju, tas dan make up tersebut membuatku sangat minim mengeluarkan uang untuk membeli mereka. Aku pikir wah beruntung sekali yang jadi suamiku, dia gak harus sering menghadapi rengekan istrinya minta baju, tas atau make up. Hahaha~. Tapi ternyata aku salah besar, dan momen acara pentas anakku menjadi ‘gong-nya’ yang membuatku sadar. Sejak kecil dia suka mainan makeup-makeup-an, suka dengan baju-baju cantik, dan tas-tas lucu juga sepatu dan aneka aksesoris seperti bando, jepit, kunciran yang lucu. Padahal tak ada yang memberi contoh begitu, karena tentu saja aku buruk dalam memberi teladan hal-hal tersebut. Aku pikir ia tumbuh dengan naluri alaminya sebagai seorang perempuan yang menyukai hal-hal cantik dan indah. Mungkin, iya mungkin saja aku juga akan tumbuh seperti demikian jika tidak mengalami kesulitan ekonomi sejak kecil. Barangkali itulah yang dinamakan trauma finansial yang membuatku pelan-pelan menghidari hal-hal cantik, indah dan lucu, karena itu semua adalah sebuah kemewahan. Hal itu  pula yang membuatku bersikap pelit terhadap diri sendiri. Aku membatasi budget untuk beli tas, baju dan make up sebesar Rp. 50.000 setiap kali beli. Entah suka atau tidak, cocok atau tidak, yang penting gak boleh lebih dari anggarannya yang memang aku buat segitu. Hasilnya? Tentu saja tas dan baju berkualitas standart, cepat rusak dan kadang aku sendiri malu memakainya. Skincare atau make up juga akhirnya berujung banyak yang gak habis pakai, karena sering gak cocok.

    Lalu untuk pertamanya, masih dalam rangka persiapan pentas anakku, aku membeli baju batik di atas anggaran biasanya. Aku datang langsung ke toko baju, memilah milih model baju, motif, warna dengan harga yang sesuai, sungguh proses yang lama dan melelahkan. Begitupun tas, kali ini aku beli tas yang di atas Rp.50.000, butuh waktu 4 hari lebih melototi online marketplace untuk mencarinya. Lalu make up, aku membeli bedak, setting spray dan lipstik yang sudah satu set, karena gak mau lebih pusing lagi memilih satu per satu. Itu pun masih kurang, karena harus cari pensil alis dan eyeshadow. Aku gak paham perbedaan fungsi di masing-masing warna dan perpaduan warna pallete seperti apa yang harus kubeli. Belum selesai, urusan kuas make up, ya ampun, ternyata beda ujung kuasnya punya kegunaan masing-masing. Beauty blender dan puff untuk alas bedak juga ternyata punya efek berbeda jika di oles ke wajah. Selama siang malam hampir seminggu lebih aku melihat tutorial cara merias wajah untuk pemula di Youtube.

    Perlahan aku mulai paham kenapa baju, tas, dan make up sering di konotasikan sebagai self love bagi perempuan. Ternyata karena itu semua adalah perantara sejauh mana kita mengenal diri kita sendiri. Sesederhana mengenal termasuk jenis kulit apakah muka ini, yang menjadi dasar untuk memilih make up dan skincare yang dibutuhkan. Mengenali warna bibir untuk tahu pakai shades lipstik warna apa saja yang cocok. Ternyata tiap guratan warna warni make up itu buah hasil dari mengenali diri sendiri. Lalu tentang skincare, entah itu memberinya moisturizer, serum, tonner, suncream, peeling serum, retinol atau apalah itu namanya, semua itu dasarnya merawatnya dan memberikan kasih sayang terhadap diri sendiri. Begitu pula tentang baju dan tas, gak semuanya cocok saat memakai baju model tertentu. Lalu, ada yang makin cantik saat memakai kerudung berwarna cerah, ada yang malah terlihat kusam. Semua itu kembali lagi ke mengenal diri sendiri, lalu memadupadankan semuanya  untuk membuat kita tampil lebih cantik.

created by ChatGPT

    Pertanyaan selanjutnya, untuk apakah merias diri dan tampil cantik?, untuk dilihat siapakah?, untuk mendapatkan apakah?. Apakah jawabannya untuk mendapatkan pujian dari orang lain dan membuat orang lain terkesan atau terkesima dengan penampilan kita. Akh iya mendapatkan validasi atau pujian dari orang lain memang menyenangkan. Tapi sebetulnya merias diri, merawat diri dan mempercantik diri dalam segi penampilan adalah untuk membuat rasa percaya diri kita makin kuat dan terpancar. Tubuhku berharga sehingga aku merawatnya, wajahku cantik sehingga aku mempercantiknya, dan aku layak untuk mendapatkan hal-hal baik dan cantik karena diriku berharga, akupun bersyukur atas semuanya tanpa perlu dibanding-bandingkan dengan siapapun. Mungkin seperti begitulah cerita tentang baju, tas dan meke up ini. Salam sayang untuk diri sendiri💖.