Saat SMA, aku pernah pura-pura suka anime Naruto karena crush ku suka itu, padahal aku gak tahu apa-apa tentang Naruto. Pernah juga ikut-ikutan jadi Milanisti, itu adalah sebutan bagi penggemar AC Milan. Aku ikut gabung jadi anggota fansclub-nya di Facebook, demi bisa dekat dengan orang yang sedang PDKT denganku saat itu. Padahal ya, aku gak terlalu paham dan suka dengan sepak bola. Aku juga pernah dengan sukarela sering mendengarkan musik-musik dari grup musik bernama Muse, lalu memproklamirkan diri sebagai penggemarnya juga. Padahal dari sekian banyak list lagunya hanya satu yang benar-benar kusukai, yakni lagu berjudul Can’t Take My Eyes off You. Udah, itu doank, yang selainnya berasa gak masuk ditelingaku, aku gak begitu suka dan sebenarnya ini agak memaksakan diri untuk nyaman mendengarkannya, karena mantan pacarku saat itu penggemar berat grup musik tersebut. Pernah juga ikut-ikutan marathon lihat film series detective dan film - film bergenre action, hanya karena teman-temanku menggandrungi itu. Kalau tentang makanan, aku sering sekali memasak dan makan makanan berbumbu medok dan aneka ikan laut, karena suamiku suka sekali makanan-makanan tersebut. Kalau di ingat-ingat ternyata dulu aku konyol sekali. Tapi kalau di pikirkan lagi, hmmm, sebenarnya itu hal yang sedikit menyedihkan. Pertama karena aku tidak begitu mengenal diriku sendiri. Aku tidak yakin apa yang aku suka dan tidak sukai. Kedua, aku yang memaksakan diri untuk “fit in” dalam kehidupan orang lain supaya aku diterima, disukai, disayangi.
Kalau ditarik mundur lagi, sepertinya aku sudah melakukan hal tersebut dalam waktu yang lama. Aku sering masuk ke lingkar pertemanan yang sebenarnya aku gak terlalu nyaman atau cocok, hanya supaya aku terlihat punya teman. Saat tinggal di rumah nenek kakek dulu, aku mengharuskan diri menyetrika baju semua penghuni rumah yang berjumlah 8 orang, dan tidak pernah absen melakukan pekerjaan rumah lainnya. Padahal tidak ada yang menyuruh, padahal para sepupu yang tinggal serumah saat itu juga tidak melakukan hal serupa. Tapi aku tetap melakukannya. Supaya aku tidak membuat malu orang tuaku di kampung. Aku ingin kakek nenek dan saudara-saudara mama tahu, meski mama dan bapak miskin tapi mereka sudah mendidikku dengan baik. Begitulah pikirku saat itu. Singkat cerita, aku di titipin ke rumah kakek nenek di Jawa karena keluarga kami di kampung kesulitan menyekolahkanku pasca lulus SMP. Di kampungku sekolah SMA sederajat jauh sekali dari rumah, harus ngekos atau punya motor dan saat itu keluarga kami sungguh sangat miskin. Mungkin saat itu orang tuaku berpikir dari pada aku putus sekolah, lebih baik aku di ungsikan saja ke Jawa yang saat itu punya kebijakan gratis bayar SPP bagi warga kota. Aku pun pindah menjadi warga Jawa Timur dan menetap tinggal di rumah kakek nenek. Aku diberi uang saku 200ribu sebulan. Sebenarnya sering sekali uang sebesar itu tidak cukup untuk kebutuhanku sebulan. Hampir tiap hari ada saja tugas yang mengharuskan untuk dikerjakan di warnet, lalu di print. Belum lagi ada iuran kelas, urunan kerja kelompok, atau ada acara kelas dan untuk membeli kebutuhan pribadiku. Aku ingat, dulu aku sering berbohong kalau aku sedang puasa saat di ajak teman-temanku beli jajan di kantin atau depan sekolah. Tapi aku gak pernah meminta uang tambahan ke kakek dan nenekku, kalau bukan urusan sekolah yang ada surat resminya dari sekolahan. Sungkan, berasa bersalah, merasa takut merepotkan, takut menjadi beban, begitulah alasanku. Penghasilan mereka hanya dari uang pensiunan kakek, yang seorang purnawirawan. Sudah diberi tumpangan hidup dan disekolahkan saja rasanya sudah sangat bersyukur. Aku tidak ingin lebih banyak merepotkan siapapun lagi. Aku berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sosok ‘anak baik’. Aku bersekolah dengan baik, meski diawal SMA aku gak bisa kembali peringkat 3 besar seperti saat SD dan SMP dulu, tapi aku tidak membuat masalah berarti. Segala macam bentuk kenakalan remaja tidak aku lakukan. Kegiatanku hanya bersekolah, mengerjakan tugas di warnet dan kerja sambilan mengajar anak SD di yayasan sosial dekat rumah sembari ikut kajian agama disana. Aku juga belum pernah pacaran atau berinteraksi berlebihan dengan lawan jenis meski sudah SMA.
Sepertinya aku sudah menjadi “anak baik” sejak kecil. Dulu saat SMP, teman-temanku nongkrong tiap sore di pinggir jalan atau di stasiun radio dekat sekolah, mereka berdandan cantik, bermain handphone dan saling asyik mengobrol. Yang aku lakukan adalah memunguti kayu bakar di tempat penggilingan kayu yang persis ada disamping stasiun radio tersebut. Mama dan bapak akan senang kalau aku melakukan itu, kayu bakar itu akan digunakan untuk memasak di tungku dapur kami. Apa aku malu?, tentu saja. Aku sering mengendap-ngendap supaya mereka gak lihat aku. Juga setiap hari libur, teman-temanku pergi berkumpul untuk ngaliwet, botram, atau jalan-jalan pakai motor untuk hunting foto pakai kamera. Kalau aku menghabiskan waktu libur dengan ikut mama bapak kakek dan nenekku ke huma (semacam kebun). Letaknya ada di dalam perkebunan karet yang masih separuh hutan. Kami harus berjalan jauh untuk nyampe sana. Keluargaku menanam berbagai macam tanaman, seperti kacang tanah, jagung, padi, dan aneka palawija lainnya. Aku sering membantu sekadar menggendong adikku sepanjang jalan dan jadi pengasuhnya disat semuanya sibuk bekerja bercocok tanam. Rasanya saat itu aku yang masih SMP ikut memikirkan bagaimana keluargaku bisa tetap bertahan hidup di tengah kemiskinan kami. Jadi aku tak berani meminta apapun. Sebetulnya aku juga ingin baju-baju bagus seperti yang dikenakan teman-temanku, juga saat itu sedang booming handphone, semua berlomba-lomba beli handphone. Aku? Bahkan gak berani bermimpi memilikinya apalagi meminta handphone ke orang tuaku. Baju pun aku tak berani meminta dan memilih baju yang aku inginkan. Takut kemahalan, takut membebani mereka dengan keinginanku. Saat ada kesempatan diajak ke pasar berbelanja baju atau saat ada tukang kredit baju datang ke rumah, jawabanku selalu “kumaha mama we (terserah mama aja)”. Entah sejak kapan tepatnya aku berhenti memilih dan memendam keinginanku. Rasanya Restu kecil sejak dulu berusaha keras membuat dirinya di terima dan di sayang. Akh ya, aku ingat, dulu aku selalu puasa di hari Minggu, hari lahirku. Aku gak tahu kenapa aku harus puasa di luar bulan Ramadhan, dan kenapa tiap weton ku itu aku harus berpuasa. Sebetulnya aku gak suka menahan haus dan lapar di usiaku yang masih kecil saat itu. Aku jadi lemas seharian, gak boleh renang di sungai dan jadi gak bisa main seperti teman-temanku. Tapi tetap aku lakukan, karena aku selalu dapat pujian mama dan bapak saat melakukan itu, aku juga di bangga-banggakan ke tetangga karena kuat dan rutin puasa.
Sepertinya makin hari aku makin ahli dalam menahan perasaan, menyembunyikan keinginan dan pemikiranku, mendiamkan pendapat dan hidup seperti untuk orang lain. Lalu seiring bertumbuh dewasa, aku makin menyadari bahwa aku punya daya untuk mengiyakan apa yang aku mau, menolak apa yang aku tidak sukai, daya untuk hidup seperti apa yang aku ingini. Di usia menginjak kepala tiga ini, aku baru sadar hewan paling kusukai adalah kucing. Dulu aku gak suka karena mamaku benci dan sering mengusir kucing yang datang ke rumah. Aku baru sadar aku sangat suka lagu-lagu bergenre ballad, dengan unsur vocal yang kuat dari penyanyinya. Pantas saja lagu-lagu dari Muse dulu rasanya terlalu berisik bagiku. Akh ya, kini aku penggemar girl band Korea, SNSD, dan member favoritku adalah Taeyeon, yang menjadi main vocal berkat suara indahnya. Film dan drama favoritku adalah yang ber-genre Slice of Life, aku sangat nyaman menontonnya. Aku adalah penggemar K-Pop dan K-Drama. Comfort food-ku adalah bubur ayam dan nasi liwet. Aku suka makanan yang minim bumbu dan lebih suka makan sayur dari pada daging atau ikan. Hahaha~, ini lucu sekali, aku baru menyadari hal-hal sederhana begini di. Kemana saja aku selama ini hingga gak mengenali diri sendiri.
Restu kecil terlalu sibuk mencari cinta, ia berkeyakinan bahwa “aku akan dicintai kalau aku menyenangkan orang lain”, ia belajar bahwa menurut dan tidak mengekespresikan keinginannya adalah cara terbaik supaya ia bisa menghindari penolakan, kritik keras atau konflik. Didukung oleh budaya dan norma yang bilang bahwa anak harus patuh, tidak membantah, harus menghormati dan mendahulukan orang lain. Sedangkan Restu remaja sibuk bertahan hidup, ia pikir dengan menyenangkan orang lain, ia merasa bisa menghindari konflik, penolakan atau rasa tidak aman. Ia juga merasa hanya akan dianggap “ada” jika ia memberi, membantu dan berguna bagi orang lain. Restu dewasa masih melakukan pola-pola serupa, tapi kini ia merasa lelah, sangat lelah. Dia masih sulit berkata tidak, ia masih sungkan menolak, ia masih menuruti apa yang bukan ia kehendaki demi orang lain. Kehilangan jati diri seperti itu yang membuat Restu dewasa perlahan merefleksikan kembali kehidupan yang selama 32 tahun dijalani ini. Sepertinya ia hidup sebagai people pleaser selama ini.
Setelah menyadari pola ini, tentu saja tak serta merta berubah begitu saja. Awal kali melatih diri untuk bekata ‘tidak’ itu rasanya seperti menjadi orang jahat. Tapi perlahan aku menyadari kalau itu adalah bentuk menjaga diri. Kebutuhanku sama pentingnya dengan kebutuhan orang lain. Aku belajar mengenali diriku, membuat batasan yang boleh dan tidak boleh dilanggar orang lain. Batas yang berbicara sejauh mana kita mentoleransi ketidaknyamanan, hak, dan value kita saat dibenturkan dengan keinginan dan kepentingan orang lain. Lalu aku mencoba sesekali mengkomunikasinya tetap dengan sopan, tapi kali ini ada rasa tegas didalamnya. Perlahan tapi pasti aku pun belajar mengekspresikan apa keinginanku, menunjukan pilihanku, caraku berpikirku dan apa yang aku rasakan. Tak sedikit penolakan, kritik, dan repon balik negatif yang aku dapatkan. Awalnya tidak nyaman mendapatkan hal-hal tersebut, tapi ternyata itu hal yang lumrah dan lama-lama terbiasa juga menghadapinya. Sedangkan part tersulit untuk berhenti jadi people pleasure adalah mengubah pola pikir dari yang “aku harus menyenangkan orang lain agar dicintai” menjadi “aku bisa tetap dicintai meski tidak selalu menyenangkan orang lain”. Aku belajar mencintai diriku sendiri lebih keras, mulai dari berkenalan kembali dengan diri sendiri yang selama ini sering aku abaikan. Memberi ruang, mengeksresikan diri, membebaskan pikiran, melepaskan beban yang bukan tanggungjawabku, memvalidasi emosi yang dirasakan, lalu bersuara bahwa “aku berharga, aku penting, aku layak”
.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar