Seperti Apa Rasanya Depresi? (Part 2)
Tak berhenti disitu, aku pun mulai membenci diriku sendiri. Sudah tahu kondisi keuangan keluarga kecil kami sedang tidak baik-baik saja. Bukannya membantu, malah menjadi beban saja rasanya. Aku kasihan pada suamiku yang harus jadi satu-satunya yang bekerja. Rasanya ijazah sarjana yang susah payah kudapatkan itu pun berakhir sia-sia. Aku hanya menjadi ‘aib’ bagi orang tuaku karena ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga dan tak berpenghasilan. Aku tak bisa membanggakan mereka. Aku ingin bisa kirim uang ke mereka untuk biaya adikku kuliah, tapi aku pun kesulitan mengatur keuangan untuk sehari-hari apalagi menyisihkan untuk menabung. Aku sedih sekali, dan marah ke diri sendiri. ‘Kenapa kamu begitu tidak berguna, Restu’!, seperti ada suara yang terus terdengar seperti itu. Tidak punya modal cukup, hp yang tidak proper, tidak punya laptop, tidak punya koneksi, tidak tahu caranya, tidak ada waktu, sibuk urus anak, dst, meskipun ada sedikit logisnya tapi terdengar seperti hanya alasan saja. Tapi aku coba beberapa hal, jualan sparepart motor di marketplace, jualan buku anak, jadi reseller tas import, mencoba jadi content creator, melamar jadi buruh potong sandal, tapi semua tak ada yang berhasil. Aku makin membenci diriku sendiri. Hari-hariku penuh dengan menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, tidak berharga, merasa menjadi beban, menjadi aib dan rasanya aku ingin menyerah saja. Aku hancur dari dalam.
Lucunya, tampak luar aku menjadi seorang yang berubah menjadi mudah emosi dan meledak-ledak. Aku jadi lebih sering marah, kadang aku bisa marah sambil menangis, kadang sambil teriak-teriak, kadang diam seharian. Aku membenci pagi hari, aku benci harus bangun lagi, harus menghadapi hari-hari yang menjenuhkan ini lagi. Tapi aku harus tetap bangun, ada anakku yang harus kurawat dan butuh perhatian, aku harus memandikannya, memberinya makanan bergizi, mengajaknya bermain banyak hal dan aku harus tetap jadi sandaran yang nyaman dan aman baginya. Aku harus tetap bagun, tetap terjaga, tetap hidup dan tetap terlihat ceria baginya. Aku adalah dunianya saat ini, jadi aku harus baik-baik saja, setidaknya dihadapan dan saat bersamanya. Tapi aku pun punya batas limit, bisa lelah juga. Aku butuh sandaran dan sekadar tempat berkeluh kesah yang aman dan nyaman. Tapi saat itu suamiku masih dalam proses mencerna apa yang terjadi padaku. Dalam dunia maskulinnya, ia tidak terbiasa menghadapi keluhan, apalagi tangisan. Ia panik dan sering buru-buru mengakhiri atau mengalihkan pembicaraan saat aku mulai menangis. Tak jarang ia pun menganggap cerita ku sebagai luapan emosi yang berlebihan dan dramatis saja. Ia pun gak suka dengan percakapan yang bahasannya terlalu mendalam, deep talk. Lebih menyebalkan lagi, karena ia sering kali tak punya waktu dan tenaga juga. Pekerjaannya mengharuskan dia motoran berjam-jam, keliling dari satu toko ke toko lain, ke luar kota, dan itu setiap hari, dari pagi kadang hingga larut malam baru pulang. Kalau sudah sangat lelah, ia biasanya menginap saja di rumah mertuaku di Surabaya yang memang lebih dekat dengan area kerjanya. Dan di hari liburnya tentu saja ia ingin dan akan lebih memilih tidur seharian di rumah dari pada jalan-jalan keluar. Aku harus sering-sering memakluminya dan berempati atas lelahnya.
Aku takut bercerita ke mama atau bapakku, kami bukan keluarga yang terbiasa saling jujur terhadap perasaan masing-masing, dan prediksiku kalau aku nekat cerita, jawaban mereka pasti menyuruhku lebih mendekatkan diri kepada Allah, harus lebih rajin sholat, dan sering-sering bersyukur. Kalau cerita ke mertuaku, akh tentu saja aku yang akan kena omelan mereka. Dalam kerluarga mereka, gambaran peran dan keseharian suami dan istri memang seperti begini, tidak ada yang salah, jadi akan semakin terlihat akulah yang bermasalah. Cerita ke teman, hmmm, aku tidak punya teman. Serius!, sudah lama aku gak komunikasi dengan teman-teman SD dan SMP ku yang jauh di Jawa Barat sana, sedangkan teman SMA yang ada disini pun sudah lama aku gak saling menghubungi apalagi ikut reuni. Kalau teman kuliah dan kerja, hmmm, panjang ceritanya, sekarang tinggal Mega saja yang masih rajin chatt-an dengan ku. Aku bukan berkonflik dengan mereka, hanya sungkan untuk memulai komunikasi, takut merepotkan. Aku pikir mereka pun sama sibuknya dengan keluarga dan dunia mereka masing-masing. Ceritaku mungkin hanya akan menjadi tambahan beban dan tidak terlalu penting. Akhirnya aku lebih memilih untuk memendamnya sendirian.
Tapi aku tidak tinggal diam, setiap ada kesempatan aku mencoba menghibur diri dengan aneka kegiatan refreshing. Anehnya, banyak yang berubah, sholat dan mengaji rasanya tak tahu untuk apa gunanya kulakukan, tak semenenangkan dulu. Menonton drama korea tak lagi menarik dan membuatku terhibur. Jalan-jalan ke luar rasanya tetap kosong. Jajan makanan-makanan favoritku pun rasanya tak pernah bahagia dulu, jadi biasa saja. Aku hanya ingin berdiam diri di kasurku, bermain gawai dan menenggelamkan diri dalam berbagai informasi di media sosialku, tanpa tujuan. Memang tidak menghibur, tapi setidaknya aku terdistraksi dari keharusan menghadapi kenyataan. Kalau bisa tidur lama, aku ingin tidur terus, sayangnya itu tidak memungkinkan. Aku ingin lari dari kenyataan. Lalu pelan-pelan melakukan kegiatan sehari-hari rasanya berat sekali. Untuk bangun dari tidur pagi aku butuh waktu ekstra untuk sekadar beranjak dari tempat tidur. Mandi pun sama, kalau bukan karena anakku butuh mandi, mungkin aku sudah tak mandi berhari-hari. Makan pun begitu, kadang aku bisa tak ingin makan seharian sekalipun lapar. Kadang bisa sebaliknya aku bisa terus-terusan makan sekalipun sudah kenyang. Jangan ditanya lagi seberapa terganggunya hubunganku dengan orang -orang sekitar. Yang paling sering terdampak dan kasihan adalah suami dan anakku, aku menjadi istri dan ibu yang menyebalkan menakutkan. Aku tahu mereka pun sedih, khawatir, serba salah, dan gak tahu harus berbuat apa. Dengan orang tua, aku memilih pura-pura baik-baik saja. Toh mereka hanya bertanya dan peduli tentang cucunya saja. Dengan mertua, aku selalu panik dan rungsing sendiri tiap akan berkunjung ke rumahnya, atau sebaliknya berkunjung ke rumahku. Bahkan mendengar suara mereka di telpon pun sudah membuat aku tidak nyaman. Lalu sebisa mungkin aku menghindari interaksi dengan tetangga dan orang lain yang tak perlu. Melelahkan sekali berinteraksi dengan manusia.



