Jumat, 22 Agustus 2025

Seperti Apa Rasanya Depresi? (Part 2)

Agustus 22, 2025 0 Comments

     Tak berhenti disitu, aku pun mulai membenci diriku sendiri. Sudah tahu kondisi keuangan keluarga kecil kami sedang tidak baik-baik saja. Bukannya membantu, malah menjadi beban saja rasanya. Aku kasihan pada suamiku yang harus jadi satu-satunya yang bekerja. Rasanya ijazah sarjana yang susah payah kudapatkan itu pun berakhir sia-sia. Aku hanya menjadi ‘aib’ bagi orang tuaku karena ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga dan tak berpenghasilan. Aku tak bisa membanggakan mereka. Aku ingin bisa kirim uang ke mereka untuk biaya adikku kuliah, tapi aku pun kesulitan mengatur keuangan untuk sehari-hari apalagi menyisihkan untuk menabung. Aku sedih sekali, dan marah ke diri sendiri. ‘Kenapa kamu begitu tidak berguna, Restu’!, seperti ada suara yang terus terdengar seperti itu. Tidak punya modal cukup, hp yang tidak proper, tidak punya laptop, tidak punya koneksi, tidak tahu caranya, tidak ada waktu, sibuk urus anak, dst, meskipun ada sedikit logisnya tapi  terdengar seperti hanya alasan saja. Tapi aku coba beberapa hal, jualan sparepart motor di marketplace, jualan buku anak, jadi reseller tas import, mencoba jadi content creator, melamar jadi buruh potong sandal, tapi semua tak ada yang berhasil. Aku makin membenci diriku sendiri. Hari-hariku penuh dengan menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna, tidak berharga, merasa menjadi beban, menjadi aib dan rasanya aku ingin menyerah saja. Aku hancur dari dalam.

    Lucunya, tampak luar aku menjadi seorang yang berubah menjadi mudah emosi dan meledak-ledak. Aku jadi lebih sering marah, kadang aku bisa marah sambil menangis, kadang sambil teriak-teriak, kadang diam seharian. Aku membenci pagi hari, aku benci harus bangun lagi, harus menghadapi hari-hari yang menjenuhkan ini lagi. Tapi aku harus tetap bangun, ada anakku yang harus kurawat dan butuh perhatian, aku harus memandikannya, memberinya makanan bergizi, mengajaknya bermain banyak hal dan aku harus tetap jadi sandaran yang nyaman dan aman baginya. Aku harus tetap bagun, tetap terjaga, tetap hidup dan tetap terlihat ceria baginya. Aku adalah dunianya saat ini, jadi aku harus baik-baik saja, setidaknya dihadapan dan saat bersamanya. Tapi aku pun punya batas limit, bisa lelah juga. Aku butuh sandaran dan sekadar tempat berkeluh kesah yang aman dan nyaman. Tapi saat itu suamiku masih dalam proses mencerna apa yang terjadi padaku. Dalam dunia maskulinnya, ia tidak terbiasa menghadapi keluhan, apalagi tangisan. Ia panik dan sering buru-buru mengakhiri atau mengalihkan pembicaraan saat aku mulai menangis. Tak jarang ia pun menganggap cerita ku sebagai luapan emosi yang berlebihan dan dramatis saja. Ia pun gak suka dengan percakapan yang bahasannya terlalu mendalam, deep talk. Lebih menyebalkan lagi, karena ia sering kali tak punya waktu dan tenaga juga. Pekerjaannya mengharuskan dia motoran berjam-jam, keliling dari satu toko ke toko lain, ke luar kota, dan itu setiap hari, dari pagi kadang hingga larut malam baru pulang. Kalau sudah sangat lelah, ia biasanya menginap saja di rumah mertuaku di Surabaya yang memang lebih dekat dengan area kerjanya. Dan di hari liburnya tentu saja ia ingin dan akan lebih memilih tidur seharian di rumah dari pada jalan-jalan keluar. Aku harus sering-sering memakluminya dan berempati atas lelahnya.

    Aku takut bercerita ke mama atau bapakku, kami bukan keluarga yang terbiasa saling jujur terhadap perasaan masing-masing, dan prediksiku kalau aku nekat cerita, jawaban mereka pasti menyuruhku lebih mendekatkan diri kepada Allah, harus lebih rajin sholat, dan sering-sering bersyukur. Kalau cerita ke mertuaku, akh tentu saja aku yang akan kena omelan mereka. Dalam kerluarga mereka, gambaran peran dan keseharian suami dan istri memang seperti begini, tidak ada yang salah, jadi akan semakin terlihat akulah yang bermasalah. Cerita ke teman, hmmm, aku tidak punya teman. Serius!, sudah lama aku gak komunikasi dengan teman-teman SD dan SMP ku yang jauh di Jawa Barat sana, sedangkan teman SMA yang ada disini pun sudah lama aku gak saling menghubungi apalagi ikut reuni. Kalau teman kuliah dan kerja, hmmm, panjang ceritanya, sekarang tinggal Mega saja yang masih rajin chatt-an dengan ku. Aku bukan berkonflik dengan mereka, hanya sungkan untuk memulai komunikasi, takut merepotkan. Aku pikir mereka pun sama sibuknya dengan keluarga dan dunia mereka masing-masing. Ceritaku mungkin hanya akan menjadi tambahan beban dan tidak terlalu penting. Akhirnya aku lebih memilih untuk memendamnya sendirian.

    Tapi aku tidak tinggal diam, setiap ada kesempatan aku mencoba menghibur diri dengan aneka kegiatan refreshing. Anehnya, banyak yang berubah, sholat dan mengaji rasanya tak tahu untuk apa gunanya kulakukan, tak semenenangkan dulu. Menonton drama korea tak lagi menarik dan membuatku terhibur. Jalan-jalan ke luar rasanya tetap kosong. Jajan makanan-makanan favoritku pun rasanya tak pernah bahagia dulu, jadi biasa saja. Aku hanya ingin berdiam diri di kasurku, bermain gawai dan menenggelamkan diri dalam berbagai informasi di media sosialku, tanpa tujuan. Memang tidak menghibur, tapi setidaknya aku terdistraksi dari keharusan menghadapi kenyataan. Kalau bisa tidur lama, aku ingin tidur terus, sayangnya itu tidak memungkinkan. Aku ingin lari dari kenyataan. Lalu pelan-pelan melakukan kegiatan sehari-hari rasanya berat sekali. Untuk bangun dari tidur pagi aku butuh waktu ekstra untuk sekadar beranjak dari tempat tidur. Mandi pun sama, kalau bukan karena anakku butuh mandi, mungkin aku sudah tak mandi berhari-hari. Makan pun begitu, kadang aku bisa tak ingin makan seharian sekalipun lapar. Kadang bisa sebaliknya aku bisa terus-terusan makan sekalipun sudah kenyang. Jangan ditanya lagi seberapa terganggunya hubunganku dengan orang -orang sekitar. Yang paling sering terdampak dan kasihan adalah suami dan anakku, aku menjadi istri dan ibu yang menyebalkan menakutkan.  Aku tahu mereka pun sedih, khawatir, serba salah, dan gak tahu harus berbuat apa. Dengan orang tua, aku memilih pura-pura baik-baik saja. Toh mereka hanya bertanya dan peduli tentang cucunya saja. Dengan mertua, aku selalu panik dan rungsing sendiri tiap akan berkunjung ke rumahnya, atau sebaliknya berkunjung ke rumahku. Bahkan mendengar suara mereka di telpon pun sudah membuat aku tidak nyaman. Lalu sebisa mungkin aku menghindari interaksi dengan tetangga dan orang lain yang tak perlu. Melelahkan sekali berinteraksi dengan manusia.

Sumber : Pinterest

    Begitulah pola yang seperti lingkaran setan ini berlangsung selama hampir 3 tahun. Tepat di hari ulang tahun anakku yang ke-3, aku memutuskan meminta bantuan. Aku pergi ke profesional, ditolong oleh psikolog dan psikiater sekaligus. Ternyata selama ini aku sedang berhadapan dengan depression episode, high functioning depression. Monster dalam diri ini masih bersemanyam hingga sekarang, meski banyak hal yang sudah membaik. Pandanganku terhadap diri sendiri mulai banyak terkoreksi, hubunganku dengan anak-suami-orang tua-mertua-dan sekitar mulai membaik. Perasaanku lebih tenang, pikiranku lebih jernih, dan rasanya langkahku makin terasa ringan setiap harinya. Aku pernah bertanya apa penyebab depresiku, psikiaterku bilang penyebabnya multifaktor. Aku pun pernah membaca beberapa buku tentang depresi bahwasannya penyebab depresi itu campuran antara biologis tubuh (genetik, ketidakseimbangan neurotransmitter otak, kondisi medis) yang terganggu + kondisi psikologis (dari pikiran dan emosi) + lingkungan dan sosial (tekanan hidup, kesepian, kurangnya dukungan sosial, trauma). Jadi bukan karena faktor tunggal. Pengobatanku selama ini dengan psikoterapi dan obat-obatan antidepresan. Aku masih mengkonsuminya hingga sekarang, dengan dosis yang makin berkurang. Aku cukup rajin kontrol sebulan sekali dan disiplin minum obat. Yang kurasakan adalah obat tersebut membuatku sedikit mengantuk di awal minum, lalu membuatku merasa lebih tenang, lalu membantuku mengontrol mood dan berpikir sedikit lebih jernih. Aku gak pernah tiba-tiba berhenti konsumsi obat-obatan tersebut, takut efeknya relapse atau kembali merasakan gejala-gejala depresi dari awal. Hmmm, ini saja sudah melelahkan sebetulnya berobat hampir 3 tahun berjalan. Aku tidak mau mengulang pengobatan dari awal dan kembali ke masa depresi awal yang menyeramkan. Kenapa pengobatanku lama, hmmm, sepertinya aku sendiri yang memang kurang fight melakukan berbagai pengobatan mandiri. Harusnya aku lebih banyak bergerak, berjemur, latihan pernapasan, journaling seperti ini, mencoba melakukan hal-hal baru, memproses trauma satu-persatu, membaca buku, mendengarkan podcast yang bermanfaat, menghargai pencapaian-pencapaian kecilku, menyukuri dan belajar bahagia dengan hal-hal kecil, sering sering pergi ke alam, belajar mindful, dan belajar mencintai diri sendiri. Semua itu sungguh sulit konsisten dilakukan tapi akan terus kucoba. Semoga tahun ini tahun terakhirku bersama monster bandel ini dan ia tak perlu datang lagi ke hidupku. 


Seperti Apa Rasanya Depresi? (Part 1)

Agustus 22, 2025 0 Comments

     Mungkin banyak yang bertanya-tanya seperti apa rasanya depresi, apa bedanya dengan sedih, dengan duka, dengan stres, dengan trauma. Lalu kenapa sampai butuh berobat ke profesional. Kenapa tidak cukup dengan bahagia, beribadah, bersyukur, refreshing atau jalan-jalan healing. Kenapa bisa terjadi, apa penyebabnya, apa bisa sembuh, apa bisa kambuh. Kenapa harus minum obat, apa selalu harus dengan obat, apa gak membuat kecanduan dan efek samping kesehatan lainnya. Apakah ini benar-benar “sakit”, apa bukan halusinasi atau sikap lebay saja. Semua orang juga punya masalah dan struggle-nya sendiri, kenapa bisa terkena depresi sedangkan yang lain bisa baik-baik saja. Apa pengidap depresi itu karena mentalnya saja yang lemah. Dan aneka pertanyaan lainnya. Sebelum itu, disclaimer dulu, aku bukan seorang profesional yang berhak menjawab semua pertanyaan diatas secara ilmiah. Aku hanya seorang pejuang depresi yang sedang berusaha pulih. Kelak ceritaku ini juga bukan untuk menjadi bahan self diagnose juga ya. Aku hanya ingin bercerita tentang si depresi ini dari POV seorang yang berusaha berdamai dengannya.

    Awalnya aku hanya terkena baby blues pasca melahirkan. Kehidupan menjadi seorang ibu baru sungguh banyak hal tak terduga. Rasanya duniaku seketika berubah. Prioritasku berubah karena sekarang ada anak yang menjadikan aku dunianya. Tubuhku juga berubah, gejolak hormon hamil-melahirkan-menyusui sungguh membuatku kesulitan mengontrol mood. Belum lagi tentang berat badan, rambut rontok, payu**ra yang ikut bengkak dan lecet saat menyusui. Jam tidur yang berkurang banyak dan jadi tak menentu. Pola makan yang juga berantakan tapi jadi banyak pantangan makanan karena menyusui. Tak ada lagi berlama-lama nongkrong di warkop, jalan-jalan santai ke luar rumah, bahkan tak ada lagi mandi dengan tenang. Sisi lain kehidupanku sebagai seorang istri juga harus tetap berjalan. Aku harus memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan rumah dan mengatur segala sesuatunya. Semua harus kulakukan seorang diri, karena jauh dari keluarga, dan belum mampu untuk membayar ART. Saat itu sungguh rasanya waktu 24 jam gak cukup, aku lelah tapi banyak yang harus kulakukan. Mempunyai anak itu sungguh bahagia, tapi mengurusnya seharian sendirian dan setiap hari itu sungguh hal berbeda. Aku sering clueless, jenuh, dan jadi ikutan tantrum saat anakku tantrum. Jika tahu akan se-hectic dan se”nano-nano” ini saat punya anak, mungkin aku akan lebih mempersiapkan diri terlebih dahulu secara fisik-mental-finansial sebelum punya anak. Sayangnya tak pernah ada kata benar-benar siap untuk menjadi ibu dan sekolahnya menjadi orang tua adalah sekolah mandiri yang berlangsung seumur hidup. Semoga seseorang yang membaca ini yang belum menikah atau belum mempunyai anak tidak malah menjadi takut dan berpikir berlebihan seolah kehidupan pernikahan atau punya anak itu menakutkan. Tidak, sungguh!.

    Seberat apapun adaptasi saat awal menjadi ibu, semua akan baik-baik saja, kuncinya ada di support system. Keberadaan orang-orang yang memahami bahwa kamu juga butuh dipenuhi kebutuhan dasarnya sesederhana butuh kenyang dulu, butuh mandi juga, butuh istirahat cukup. Yang peduli kalau kamu butuh jeda, butuh sesekali ke luar rumah, sesekali makan beli atau makan di luar, sesekali jajan, sesekali laundry, sesekali libur dari kerjaan rumah, dan tentu saja butuh sesekali  gantian pegang anak. Jika semua itu berlebihan, maka sekadar berempati pada seorang ibu baru, yang juga bisa capek sama seperti para pekerja yang keluar rumah mencari uang, itu mungkin cukup menjadi support system.  Hmmm, sayang sekali, saat itu aku hampir tidak punya seseorang yang bisa ku sebut sebagai support system. Suamiku, singkat cerita saat itu ia belum tersadarkan dan se-supportive seperti sekarang. Dibesarkan dalam keluarga patriarki kental memang membuatnya kesulitan memahami bahwa peran seorang suami dan ayah itu bukan sekadar mencari pundi-pundi uang. Ada anak kami yang juga butuh waktu, tenaga dan butuh merasakan kasih sayangnya sebagai seorang ayah. Ada rumah yang kami tinggali bersama yang butuh campur tangannya agak tetap bisa di tinggali dengan nyaman. Ada istri yang meskipun sekarang jadi seorang ibu, tapi butuh juga di perhatikan selayaknya pasangan, bukan robot, babysitter atau pembantu. Lalu tentang keluarga lain, orang tua, mertua, mereka semua tinggal beda kota, jadi memang tidak memungkinkan membantu. Dan sebagaimana kebanyakan generasi Gen X,  banyak sekali ilmu, mindset dan informasi yang berbeda mengenai pengasuhan anak di zaman sekarang. Niat mereka baik, tapi mereka sering lupa bahwa ilmu dan informasi berkembang terus, dan kadang mereka susah melepas hal-hal yang mereka anggap benar dan turun temurun sekalipun itu salah. Seperti halnya sudah tidak lagi bayi dipakaikan bedong ketat berhari-hari, meminumkan kopi supaya tidak terkena kejang demam, memberi air putih atau madu pada bayi yang masih belum genap seminggu, memberi makan pisang sebelum usia 6 bulan, dll. Ada juga yang dulu di anggap hal yang tidak boleh bagi anak, tapi sekarang bernilai baik, seperti berjalan tanpa alas kaki ‘nyeker’, membacakannya buku sekalipun bayi belum bisa membaca, makan telur setiap hari, main lumpur, main becek-becekan, hujan-hujanan, dst. Kadang gesekan perbedaan lintas generasi ini cukup membuatku kesulitan. Mereka juga sering lupa, sesayang apapun mereka terhadap cucunya, tetap saja akulah ibunya, aku bukanlah babysitter yang mereka titipi anak. Saat cucu mereka luka atau sakit atau kenapa-napa, yang menanggung konsekuensinya, yang paling khawatir, yang kerepotan, yang berasa bersalah, yang kewalahan, yang sedih, dan juga ikut merasakan sakitnya itu adalah aku, ibunya. Jika tidak bisa membantu hadir secara langsung, setidaknya tidak perlu menyalahkan dan mengomentari hal-hal yang menyakitkan hati anaknya. Sedikit belas kasih terhadap anaknya ini yang pertama kali menjadi ibu dan masih belajar menjadi orang tua mungkin akan sangat berarti. Sayangnya tidak aku dapatkan.

    Jika kalian pikir perkara ketiadaan support system ini sudah membuat baby blues-ku berkembang lebih parah menjadi Postpatrum Depression, kalian salah. Ada lagi yang membuatnya terasa sebagai  “bencana yang tak berakhir”, yaitu aku sendiri. Aku merindukan diriku yang dulu. Aku kangen sekali bisa bekerja diluar, bertemu banyak orang, membicarakan hal-hal selain popok, mpasi, harga sembako, menu masakan, dan ide stimulasi anak. Aku kangen berkompetisi soal kinerja dan target. Oh tentu saja aku juga kangen dapat gaji. Aku ingin membelanjakan uang gajianku tanpa beban tanpa perlu izin dan tanpa merasa bersalah memprioritaskan diri sendiri. Aku ingin dapat apresiasi atas hasil usahaku lagi. Aku ingin bekerja dalam batas jam kerja, yang setelahnya aku bisa bebas bersantai. Aku ingin sesekali libur, izin sakit, dan cuti. Semua hal ini tak lagi bisa kudapatkan setelah menikah dan mempunyai anak. Menjadi ibu rumah tangga awalnya memang sebuah pilihan sadar yang aku dan suamiku pilih. Tapi memang harus aku akui bahwa ada sebagian dari diriku yang merasa dalam kondisi “tidak ada pilihan lain”. Aku sudah bekerja part time sejak SMA, kuliah pun sambil aktualisasi cari uang, aku memang tidak punya jenjang karir yang bisa dibanggakan, pekerjaanku hanya pekerjaan yang sebatas bertahan hidup asal menghasilkan uang, berganti-ganti, berpindah kota, hanya sekadar menangkap peluang yang ada. Tapi diam-diam aku bangga atas pencapaianku sendiri. Bisa mandiri sejak SMA, kuliah sendiri tanpa merepotkan orang tua, dan menjalani setiap pekerjaanku dengan penuh dedikasi. Selama ini bukan hanya uang kuhasilkan, tapi juga pengakuan, apresiasi, lahan aktualisasi dan yang paling penting adalah perasaan berdaya dan kepercayaan diri. Lalu kemudian, kondisi tidak lagi bekerja begini ikut membuat aku kehilangan rasa berdayaku, kepercayaan diri dan perlahan membuatku merasa tidak berharga. Aku kehilangan diriku sendiri. 

Sumber : Pinteret



Lanjut Part 2...

Rabu, 06 Agustus 2025

Memeluk Luka Inner Child

Agustus 06, 2025 1 Comments

     Anakku sekarang jadi murid TK B, dan sebagaimana anak-anak seumuran dia pada umumnya para ibu mereka mulai mengajari pelajaran baca tulis hitung. Aku sering lihat berseliweran update status story WhatsApp atau media sosial lainnya teman-temanku yang punya anak TK pamer tulisan tangan anaknya atau video anaknya bisa mengeja huruf. Ada yang di ajari sendiri adapula yang mendatangkan guru privat atau dimasukkan les calistung. Sebetulnya aku tidak “panas hati” atas pencapaian anak-anak mereka, karena aku dan ayahnya sejak dulu tipikal orang tua yang santai dan tidak terlalu kompetitif. Hanya saja aku jadi terbersit sepertinya mulai harus membiasakan anakku mengenal adanya jam fokus belajar rutin tiap harinya. Selama ini sepulang sekolah, dia makan siang lanjut tidur siang, lalu sore setelah makan, ia akan bermain bebas dengan teman-temannya di toko sampai jam 9 malam, terus pulang ke rumah untuk tidur. Aku masih yang percaya bahwa bermain itu memberikan berbagai stimulasi yang bermanfaat untuk dia dan itulah caranya belajar. Dengan berbagai variasi bermain dia mendapat stimulasi motorik kasar, motorik halus, belajar menangani konflik, komunikasi bahasa, dan tentu saja aktif bergerak. Sedangkan tentang belajar membaca dan berhitung, aku mengenalkan huruf lewat membacakan dongeng setiap malam, dan berhitung lewat objek riil yang bisa di hitung atau pakai uang. Selama ini aku merasa itu sudah cukup, tapi akhir-akhir ini aku rasa di perlu juga di latih untuk belajar dalam kondisi duduk dan mengenal angka huruf lewat aneka worksheet. Aku pun mulai sounding ke dia mengapa di harus melakukan itu dan pembiasaanya cukup 10 menit saja setiap hari.

    Hari itu pun di mulai, dalam jeda ba’da Maghrib aku ajak dia duduk diam di atas meja kerjaku, mensodorinya aneka latihan huruf dan angka secara bergantian. Kadang media belajarnya pakai kertas dan spidol, kadang pakai laptop, kadang pakai mainannya yang berbentuk huruf abjad, atau pakai buku bacaan dan worksheet yang memang diperuntukan untuk latihan calistung. Sebisa mungkin aku pun membuatnya menjadi moment yang menyenangkan. Aku beri tahu dia betapa asyiknya bisa membaca dan berhitung. Aku banjiri dia dengan pujian saat dia melakukannya dengan baik. Aku menahan diri sebisa mungkin untuk tidak marah saat dia salah berulang kali. Aku berusaha untuk tidak mengkoreksinya dengan heboh dan menyalahkannya. Aku rayu dengan iming-iming jajan jika dia sudah mulai rewel ingin segera berhenti belajar sebelum 10 menit berakhir. Aku juga membekali diri dengan membaca buku dan belajar fonik supaya mengajarinya dengan baik dan tidak membosankan. Aku ingin dia ingat bahwa belajar membaca dan berhitung dengan mama itu menyenangkan.

    Rasanya aku sudah melakukan yang terbaik semampuku. Namun ternyata respon anakku berbeda dengan ekspektasiku. Dia sering sekali enggan untuk mulai duduk diam belajar, sulit sekali membujuknya untuk sekadar bertahan 10 menit saja. Kadang ia sengaja menjawab asal-asalan, kadang dia tiba-tiba membisu lalu tertawa terbahak-bahak melihat aku yang frustasi membujuknya untuk fokus. Kadang saat belajar menulis ia malah menggambar, kadang ia belajar sambil merajuk, sambil cemberut dan menjawab pertanyaanku secara terpaksa. Secara hasil belajar progressnya rasanya lambat sekali, dan secara proses benar-benar jauh dari ekspektasiku. Setiap habis belajar aku selalu bertanya sendiri apa yang salah, apa yang bisa ku perbaiki. Lalu ku coba lagi keesokan harinya, mencoba menyodorkan hal yang baru, dengan senyum yang lebih ceria, dengan intonasi suara yang lebih lembut, dengan mimik wajah yang lebih playful, dan aneka cara lain supaya dia bisa lebih nyaman belajar 10 menit tadi. Terhitung hampir satu bulan begini ini, dan lagi-lagi progress hasil maupun prosesnya rasanya minim perubahan.

    Lalu kemarin saat anakku mulai bertingkah rewel untuk belajar 10 menit itu, meledaklah timbunan rasa lelah, bingung, kecewa, marah dan khawatir itu. Di depannya aku menangis tersedu-sedu, sampai ia sendiri bingung dan memelukku. Aku terus mempertanyakan ‘kurang sabar apa aku ke dia’, ‘apa selama ini semua usahaku sia-sia’. Emosi itu datang begitu pekat dan butuh waktu lama untuk benar-benar tenang, bahkan keesokan harinya pun aku masih menangis. Aku sendiri terheran-heran kenapa bisa se-emosional ini aku kali ini. Bukankah ini cuma perasaan lelah mengajari anak yang rewel belajar?. Lama aku berpikir ternyata ini bukan perkara anakku. Ternyata aku lah yang aku tangisi, aku yang ter-trigger masa kecilku sendiri. Mengajari anakku belajar sepertinya memanggil kembali memori-memori aku dulu diajari belajar juga dan bagaimana aku di perlakukan saat kecil. Ada anak kecil duduk di kursi plastik warna biru belajar diatas meja bergambar lukisan sawah di ruang tamu, setiap habis maghrib mamanya mengajari pelajaran sekolah dan bapaknya mengajarinya mengaji. Pahanya penuh luka memar biru bekas cubitan kecil dari sang mama. Kadang ia menulis PR sekolahnya sambil menangis, kadang ia menahan semua keluh kesahnya dalam diam tanpa suara karena takut pukulan sapu lidi mendarat di pantatnya. Saat ia benar tak pernah di puji, saat ia salah ia akan dikatai “belet” (baca:bodoh) atau “kitu oge teu bisa” (baca: gitu aja gak bisa). Saat ia menolak itu artinya melawan orang tua dan tentu saja omelan amarah dan omongan pedas menyakitkan hati yang keluar dari mulut mereka. Bapaknya hanya diam melihat ia di cubiti dan dihujani kata-kata menyakitkan itu. Ia merasa sendirian, tak ada yang membelanya, mungkin juga tak ada yang peduli. Hingga ia pun memutuskan untuk menahan, diam, dan menjadi anak baik saja. Anak itu adalah aku.

    Aku gak menyangka kejadian yang terjadi sudah sangat lama itu ternyata menjadi satu trauma yang tersimpan dalam tubuhku hingga sekarang. Saat mengingatnya dadaku terasa sesak, tanganku gematar dan air mata terus saja mengalir. Mungkin Restu kecil juga ingin menolak, ingin rewel, ingin menangis, ingin teriak, dan ingin berontak kabur saat  ia kecil, sama seperti yang dilakukan anakku sekarang. Restu kecil juga ingin di puji saat melakukan hal yang baik/benar. Ia ingin mama bapaknya tidak melulu mengungkit dan membesarkan kesalahannya. Apalagi mengatainya dengan umpatan kasar dan omongan yang membuat hatinya ciut. Ia ingin di dengar, ia ingin di peluk dan di tenangkan saat menangis. Ia ingin menolak tanpa di katai membangkang, Ia ingin tetap di sayangi orang tuanya meski tidak menjadi anak baik dan sempurna. Restu kecil merasa cinta mama dan bapaknya penuh syarat dan sulit sekali menjadi anak  kebanggan mereka, apalagi jika sudah dibandingkan dengan teman-teman yang lain dan adiknya sendiri. Hampir tak pernah ia mendengar mama bapaknya mengatakan “terimakasih”, “maaf”, “aku sayang kamu”, atau memeluknya menciuminya, dan ia terus mempertanyakan apakah mereka kecewa padanya, apakah ia disayang orang tuanya, bahkan sampai ia dewasa tak pernah terjawab. Dan kini, Restu kecil iri pada anakku yang mendapat semua itu.

Sumber : Pinterest, Image Credit @ Kimberly Jay


    Dari pengasuhan yang kita dapat, mungkin kita akan mengambil sebagian yang kita anggap baik dan membuang yang buruknya. Termasuk melakukan kebalikan dari sesuatu yang buruk dalam pengasuhan kita dulu. Begitulah yang ku coba lakukan terhadap anakku sekarang. Meski memang rasanya tak mudah memberi sesuatu yang sebelumnya tidak kita dapatkan. Meski sulit bersikap berbeda dari yang sebelumnya di contohkan. Harus belajar ulang, harus membangun kesadaran, harus bersikap mindful, harus banyak yang dilakukan dan pelajari. Semua demi tidak menjadikan anak mempunyai luka yang sama.

Teruntuk Restu kecil, “Sini nak, sini kupeluk…. kamu aman sekarang, gak apa kalau mau nangis, itu bukan cengeng atau lemah, nangis aja gakpapa. Lihat! Kamu tumbuh dengan kecantikan khasmu. Gigi seri yang patah dulu sudah kita perbaiki dan tak lagi membuat malu untuk sekadar tersenyum. Lihat! Kamu gak bodoh, lihat! kamu berhasil selesaikan study-mu sampe Sarjana. Dan lihat! kamu juga bisa melakukan banyak hal loh, bertahan sendirian di perantauan sejak SMA, kerja di banyak bidang, dan sekarang menjadi ibu. Gak apa melakukan kesalahan, gakpapa, bisa kita perbaiki. Sekarang cobalah! Coba banyak hal yang kamu inginkan sejak dulu tanpa perlu khawatir berlebihan. Gakpapa gagal, salah, berisiko, malu, rusak, jatuh, rugi, terluka, sakit itu hal yang biasa saja terjadi. Kita tetap bisa belajar dari hal itu. Sekarang kamu berdaya, kamu bisa merubah keadaan seperti yang kamu ingin dan yakini. Dan sekarang kamu boleh berhenti jadi anak baik. Kamu boleh nolak hal yang kamu gak suka kamu gak mau. Kamu boleh memilih bebas tanpa perlu membuat orang lain senang atau suka. Kamu sekarang boleh marah saat ada yang menyakiti hati dan tubuhmu. Kadang orang akan kecewa terhadapmu, tapi biarlah, kita memang gak bisa membuat semua orang senang, membuat semua orang suka, dan itu gakpapa. Kamu gak perlu jadi sempurna untuk merasa berharga. Keberadaanmu saja sudah berharga. Kamu di sayang, bahkan saat semua orang tidak menyukai dan menyangimu, aku disini, aku menyayangimu apa adanya. Kadang dunia terasa berat dan jahat, tapi kita bisa kog melaluinya. Lihat! Kita bisa bertahan sampai sekarang. Kita melakukannya dengan baik, dan seterusnya akan seperti itu. Aku akan berada terus disisimu. menemani masa terang dan gelapmu, juga terus bertumbuh bersamamu. Satu lagi, aku sangat bangga padamu". Dari Restu umur 32 tahun.