Relapse
Aku selalu iri
dan terheran-heran dengan orang yang mampu melakukan banyak hal apalagi beda
bidang dan banyak yang ditangani difokusi. Berasa tenaganya banyak, energinya
gak habis-habis, itu wow sekali, keren banget!. Sedangkan aku, ya ampun, untuk
bangun saja susah bukan main. I am not kidding guys! Sesusah itu,
rasanya ingin tidur seharian, meskipun sudah sangat cukup tidur, meskipun gak
ngantuk. Tapi menghadapi kenyataan itu menyebalkan dan melelahkan rasanya. Jadi
ingin balik tidur, berkhayal sesuka hati dan lari dari kenyataan. Berbanding
terbalik dengan makan, yang sudah kenyang pun ingin tetap ngunyah makanan.
Hampa, berasa gak punya harapan, berasa gak ada pilihan, berasa kesepian
sekali, berasa sia-sia semuanya, berasa ingin menyerah saja. Begitulah rasanya
dan gambarannya saat sedang relapse. Entah ini relapse yang keberapa kalinya.
Gak terasa sudah hampir 3 tahun aku memutuskan ke professional untuk meminta bantuan penyembuhan ini. Aku tergolong pasien yang cukup patuh dengan selalu disiplin minum obat sesuai anjuran dan datang kontrol sebulan sekali. Dalam kurun waktu tersebut terhitung satu kali aku diturunkan dosis obatnya karena dinilai sudah membaik. Namun karena relapse lagi, maka dosis obatku kembali di naikkan. Kali ini dosis obatku sudah “normal” dan tidak ada stressor yang berat, tapi lucunya aku kembali relapse. Entah ini harus menangis atau menertawakannya saja.
Aku yang
sekarang, sudah tidak sesibuk dulu dalam hal mengurus anak. Anakku sudah beranjak
besar, banyak hal yang sekarang sudah bisa ia lakukan sendiri, seperti makan,
mandi, pakai baju dan bermain sendiri atau dengan teman-temannya. Kini aku gak
harus menempel dengannya sepanjang waktu siang dan malam. Ditambah lagi kini ia
sudah bersekolah mulai dari jam 07.30 sampai dengan jam 12.00. Iya, ada spare
waktu kurang lebih 4 jam yang seharusnya bisa aku manfaakan dengan baik untuk
lebih produktif dan berdaya. SEHARUSNYA. Juga, sekarang aku punya toko yang
bisa ku kelola. Meski masih toko kecil dan sederhana, tapi sudah bisa ada
penghasilkan tetap dari menjaganya mulai dari pagi – siang dan buka lagi sore
hingga malam hari. Dari pendapatan toko itulah, suamiku membelikanku laptop
dengan harapan aku bisa lebih produktif dan kembali merasa berdaya. Sungguh ia
menjadi lebih supportif bukan dibanding tahun-tahun awal pernikahan dulu. Wow
sekali bukan?!. Fasilitas sudah ada, suami mendukung, lagi-lagi seharusnya, iya
seharusnya aku sudah sembuh dari depresi sialan ini.
Apa ada
monster yang hidup di dalam tubuhku ini? Kenapa aku bisa relapse dengan semua
kondisi dan support system yang baik begini. Obat, anak, suami, toko, laptop.
Bukankah seharusnya sudah cukup menjadi prasyarat berubah lebih baik. Kebetulan
besok jadwal konsultasi ke psikiater. Apa aku harus cerita ini atau tidak. Apa
aku cerita kalau aku baik-baik saja agar obatku segera diturunkan dosisnya dan
aku bisa segera lepas obat?. Sejujurnya proses ini melelahkan sekali, aku ingin
segera berhenti berobat. Apa aku tiba-tiba menghilang tanpa kabar dan tidak
kontrol lagi saja. Toh psikiaterku tidak akan mencariku iya kan?!. Entahlah.

