Aku Lahir Tanpa Bakat ?!
Restu Rasa
Oktober 12, 2023
0 Comments
Saat masih Sekolah Dasar dulu, aku ingat sekali Bapak pernah bilang, “si Kakak nantinya jadi apa ya, pinternya ya cuma bikin sambel”, guraunya. Aku tahu itu cuma candaannya, tapi kata-kata itu sungguh masih terngiang-ngiang hingga sekarang. Iya, hingga usiaku 30 tahun begini. Aku sungguh merasa aku lahir tanpa bakat apapun. Semuanya hanya sakadar bisa dan biasa saja. Seperti inilah perjalanan menemukan bakat minatku dalam segala keterbatasannya sebagai anak yang tinggal di desa. Dulu, saat teman-teman sebayaku heboh beli sepeda semua, hanya aku yang mama belikan mesin jahit. Liburan sekolahku diisi dengan belajar menjahit. Keterampilanku dalam menjahit cukup hingga menambal bolongan baju yang sobek dan membuat celana adikku yang saat itu masih balita. Berbeda dengan keterampilan memasak, kelas 4 SD aku sudah terbiasa menyiapkan nasi hangat beserta lauknya untuk Mama dan Bapak yang pulang kerja dari sawah. Tapi jangan dibayangkan lauk yang wow beraneka macam berbeda-beda setiap hari. Tentu saja lauk seadanya bahan yang dipetik dari kebun dan sesekali beli telur, ikan pindang, ikan asin, tahu dan tempe atau menyembelih ayam jika ada acara spesial.
Keterampilan lainnya, merawat hewan atau tanaman, siapa tahu aku bisa jadi peternak atau petani hebat. Sayangnya aku seperti terlahir untuk takut dan geli dengan semua hewan, selain ayam, capung, dan semut. Mungkin merawat tanaman jadi ide yang lebih baik, karena aku terlahir dari kakek nenek dan orang tua yang punya ladang untuk ditanami padi, jagung, tebu telor, kacang tanah dan aneka palawija lainnya, membuatku sedikit lebih akrab dengan tanaman dibandingkan hewan. Kalau di sekolah, jika bakat minat di lihat dari pelajaran favorit, sepertinya pelajaran favoritku berganti-ganti sesuai gurunya enak mengajar atau tidak. Satu yang pasti, aku selalu buruk di semua bidang olahraga, selain berenang di sungai. Rasanya sulit mengkoordinasikan dan mengontrol seluruh tubuh dengan tujuan tertentu. Sama dengan keterampilan menari. Dulu ada ekstrakulikuler menari tradisional, dan seperti yang sudah di tebak, badanku kaku semua mengikuti gerakan dan irama musik secara bersamaan.
Beda cerita dengan menyanyi, seperti ada harapan bahwa bakatku ada sedikit di bidang ini. Aku sering di dapuk menyanyi duet dan paduan suara di acara perpisahan kelas sejak kelas 4 SD hingga tamat SMP. Sayangnya setelah mengenal para penyanyi K-Pop dan pindah sekolah SMA membuatku berpikir bahwa aku cukup jadi penyanyi kamar mandi saja. Masa SMA lebih galau lagi mencari bakat minat karena semuanya berubah. Yang jelas antara IPA dan IPS, aku lebih suka dan gampang memahami pelajaran-pelajaran IPS. Oh ya, guru Sosiologiku sering memuji kemampuan debatku di kelas dan menyarankan untuk ambil kuliah jurusan hukum saja supaya jadi pengacara. Tapi aku sungguh menikmati pelajaran komputer. Padahal aku si anak desa yang SD dan SMPnya terhitung bilangan jari pegang komputer sekolah yang cuma ada satu itu. Aku mengejar ketertinggalan dengan anak SMA kota yang lebih familiar dengan komputer dengan menghabiskan pulang sekolah di warnet setiap hari dan belajar secara otodidak. Aku senang sekali tiap pelajaran TIK, membuat blog, membuat animasi dan membuat film pendek.
Tapi kuliahku berujung di jurusan manajeman dakwah. Iya gak salah baca, ma-na-je-men dak-wah, ada dakwahnya. Hmm, keadaan ekonomi yang membuatku membuat pilihan ekstrim antara pulang ke desa tanpa lanjut sekolah dan bisa berakhir dengan perjodohan nikah muda atau ambil kuliah apapun dimana pun jurusan apapun asalkan bisa kuliah gratis dengan beasiswa. Saat itu hanya ada beasiswa dari sebuah yayasan sosial yang mengharuskan jurusan kuliah manajemen dakwah. Meski begitu aku lulus tepat 4 tahun dengan IPK 3,32. Lumayan lah ya untuk ukuran jurusan yang asing ini. Aku sadar bahwa almamater kampusku yang notabene kampus baru ini belum banyak dikenal orang, apalagi jurusannya yang apa sih prospek kerjanya, membuatku jadi lulusan yang strugling sekali dalam mencari kerja. Tapi tak apa, setidaknya aku bisa kuliah, dengan gratis pula, dan dalam 4 tahun tersebut banyak pengalaman berharga yang sangat berguna. Aku ikut ambil bagian dalam mencari donasi dan mengajar anak-anak di yayasan tersebut.
Pekerjaan pertamaku pun di yayasan sebagai koordinator penggalangan dana merangkap personalia. Lalu tiba-tiba jadi guru SMP di sebuah sekolah swasta di desaku. Balik merantau ke kota, dipercaya jadi waiters merangkap jadi penanggungjawab outlet cabang sebuah restoran cepat saji. Lanjut menjadi sales aplikasi yang keliling Surabaya Gresik Lamongan Tuban Bojonegoro. Lalu pindah haluan jadi sales asuransi, freelance mysterious shopper untuk perusahaan lending dan berakhir menjadi ibu rumah tangga seperti sekarang. Sungguh tidak sinkron antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya bukan? Sungguh menantang saat pindah satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, yang mengharuskan belajar ulang terkait semuanya. Meski begitu hampir semua pekerjaan-pekerjaan tersebut kulakukan dengan sungguh-sungguh dan berakhir dengan mendapatkan apresiasi baik materi maupun non materi dari tempat kerja, pimpinan maupun rekan kerja lainnya.
Sumber : Free Photo | Free photo improvement potential excellence diagram graphic concept (freepik.com)
Dulu aku malu saat menceritakan portofolioku ini, sunguh gak nyambung antara jurusan kuliah dan pekerjaan satu dg yang lain juga gak ada jenjang karir. Sekarang aku lebih santai dan belajar menertawakan curriculum vitae ku ini. Termasuk menertawakan diri sendiri yang diusia kepala tiga ini masih bingung mencari bakat minat sendiri. Iya aku iri sekali dengan orang-orang yang bekerja sesuai bakat dan minatnya dan menghasilkan uang dari situ. Oh tentu saja aku gak menampik nilai penting sebuah usaha, kerja keras, kegigihan, dan ketekunan dalam proses menjadinya. Tapi bukankah menyenangkan jika kita tahu bakat minat kita lalu mengembangkannya menjadi keterampilan yang menghasilkan pundi-pundi uang. Bekerja dengan menyukai bidang pekerjaan kita. Patut diperjuangkan bukan. Makanya meski di usia segini, aku tetap akan mencari apa bakat dan minatku dengan berbagai macam percobaan, hehe. Akh ya, dulu aku membenci kenyataan bahwa kini aku hanyalah ibu rumah tangga fulltime. Lambat laun pandanganku berubah menjadi rasa syukur mungkin inilah jeda waktu yang diberikan Tuhan untuk mencari tahu dan mencoba banyak hal untuk tahu betul bakat minat ku selama ini lalu kemudian kembali bekerja dengan lebih bermakna dan bahagia. Wish me luck guys😍.

